Bisnis.com, JAKARTA- Situasi di Laut China Selatan tengah memanas, termasuk bagi Indonesia. Ini salah satunya karena 9 garis putus-putus (nine-dash line), yang baru saja berkembang menjadi 10 garis malah menerabas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Natuna dan beberapa ZEE negara-negara ASEAN lainnya.
Hal itu diungkapkan oleh Dr. Teuku Rezasyah, Direktur Eksekutif Pusat Riset ASEAN Universitas Padjajaran Bandung, dalam seminar berjudul “Pedoman Tata Perilaku (Code of Conduct) di Laut China Selatan: Berkah Bagi China, ASEAN, Atau Seluruh Kawasan?” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, pada akhir pekan lalu.
Hadir dalam seminar tersebut Ristian Atriandi Supriyanto, M. Sc, dosen dan pemerhati isu strategi dan keamanan dari jurusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Profesor Abdullah Dahana, pendiri dan ketua dewan penasihat FSI, serta Ketua FSI Johanes Herlijanto.
Johanes Herlijanto, Ketua FSI yang juga dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan, mengapresiasi kesepakatan negara-negara ASEAN dan Cina untuk mempercepat penyelesaian COC di LCS.
Namun demikian, dia menekankan pentingnya COC yang dihasilkan untuk tetap berlandaskan UNCLOS dan mencerminkan sikap dan kepentingan negara-negara Asean, khususnya negara-negara yang bersinggungan dengan klaim Cina di LCS.
Johanes mengatakan bahwa penting bagi negara-negara ASEAN untuk memastikan agar Cina tidak menjadikan COC sebagai alat legitimasi bagi klaim 10 garis putus-putusnya.
Baca Juga
“Sebaliknya, setiap negosiasi harus tetap menekankan penolakan klaim wilayah Cina yang ditandai oleh 10 garis putus-putus tersebut,” pungkasnya, dikutip dari siaran pers, Senin (18/9/2023).
Menurutnya, negara-negara Asean juga harus menolak bila Cina bersikeras untuk memasukan klausul yang membatasi kebebasan negara-negara Asean dalam memilih partner kerja sama untuk melakukan eksploitasi ekonomi di wilayah ZEE mereka.
“ZEE negara-negara ASEAN sah menurut UNCLOS, oleh karenanya masing-masing negara berhak menentukan akan kerja sama dengan pihak mana pun, dan tidak boleh diintervensi oleh Cina,” tuturnya.
Menurut Teuku Rezasyah, perilaku dan aktivitas China di wilayah yang mereka klaim melalui 10 garis putus-putus itu berpotensi meningkatkan ketegangan bahkan konflik antara Cina di satu sisi dan negara-negara sekitar LCS di sisi lain, termasuk dengan Indonesia, yang sebenarnya tidak turut serta dalam sengketa kewilayahan di LCS.
“Padahal, klaim wilayah oleh Cina yang ditandai garis putus-putus itu tidak ada menurut UNCLOS. Klaim itu hanya berdasarkan catatan sejarah Cina, yang menganggap bahwa nelayan-nelayan mereka sudah mengunjungi wilayah tersebut sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu,” tuturnya.
Selain tidak berdasarkan UNCLOS, klaim 10 garis putus-putus juga tidak memiliki definisi yang jelas.
“China memang sengaja mengaburkan agar terjadi kebingungan di kalangan negara-negara lain. Perlu dicatat bahwa Cina menganggap diri sebagai pusat dunia, sehingga negara-negara sekitar, termasuk Asia Tenggara, dalam anggapan Cina perlu dijadikan beradab. Mereka tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan Cina,” tutur Teuku.
Dia juga menekankan bahwa seiring dengan meningkatnya kekuatan ekonomi Cina, negara tersebut malah menjadi semakin agresif. Dalam konteks inilah, menurut Teuku, COC, yang pada intinya seruan untuk menahan diri, diupayakan untuk segera terwujud.
“Namun masih terdapat kesulitan-kesulitan, karena China meminta agar klaim mereka yang hanya didasarkan faktor historis semata, dan bukan berdasarkan UNCLOS, tetap dihargai,” tukasnya.