Bisnis.com, JAKARTA - Banyak ekspektasi tinggi diharapkan di Asean dalam menangani konflik Laut China Selatan. Namun, hasil KTT tersebut menimbulkan tanda tanya.
Hal ini diungkapkan oleh Shafiah F. Muhibat, Wakil Direktur Eksekutif untuk Penelitian, Centre for Strategic and International Studies Indonesia (CSIS) dalam menanggapi soal isu Laut China Selatan dalam Asean.
“Sekali lagi, kita memulai tahun ini dengan ekspektasi yang tinggi terhadap Indonesia. Jadi, memiliki dua dalam daftar pencapaian sebenarnya merupakan standar yang cukup rendah untuk posisi sebesar dan sepenting Indonesia. Saya harus jujur mengenai hal ini,” ujar Shafiah dalam forum diskusi FPCI bertema A Debrief on 43rd ASEAN Summit and Related Summits, Mayapada Tower 1, Jakarta (15/9/2023).
Adapun, dua pencapaian yang dimaksud adalah pedoman percepatan negosiasi kode tata perilaku (Code of Conduct/CoC) dan pembacaan kedua dari draf negosiasi tunggal.
Shafiah menuturkan bahwa ekspektasi yang tinggi dipasang oleh banyak orang, mengingat fakta hubungan Indonesia dengan China.
Dengan China yang memandang Indonesia dan sebagai sebuah negara, Indonesia seharusnya memiliki pengaruh yang lebih baik, sebagai ketua, untuk membuat inisiatif tertentu.
Baca Juga
Pada saat yang sama, Shafiah juga merujuk bahwa ketegangan terbaru di Laut China Selatan yang terjadi dalam beberapa minggu sebelum KTT adalah fakta yang tidak bisa diabaikan. Selain itu, menurutnya tidak ada reaksi yang lebih kuat.
“Hasil KTT tersebut hanya menimbulkan tanda tanya. Menurut saya, tanda tanya seperti ini di satu sisi bisa berbahaya dalam hal prospek, melihat prospek negosiasi CoC,” jelasnya.
Ia juga khawatir bahwa dalam putaran berikutnya, yakni pada keketuaan tahun depan hanya mengulangi yang sama, dengan mengutarakan berbagai pencapaian namun masih menimbulkan kekecewaan.
Tanggapan dari Pihak Asean
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN dan Kementerian Luar Negeri RI Sidharto R. Suryodipuro mengutarakan bahwa Indonesia, sebagai negara yang menghormati Konvensi Hukum Laut PBB dan hukum internasional lainnya, yang berkaitan dengan maritim, kebebasan navigasi, dan penerbangan lintas batas, merupakan isu-isu yang sangat penting bagi Indonesia.
Menurutnya, apa yang dilakukan Indonesia dan di luar kawasan juga menyerukan kepada negara-negara lain, memastikan mereka juga menegakkan atau mengimplementasikan kebebasan bernavigasi di wilayah mereka.
“Ini adalah aturan dan norma yang harus diterapkan secara merata. Jadi, ini adalah salah satu poin penting,” ungkapnya, yang juga hadir dalam forum diskusi tersebut.
Hal penting lainnya, yang menurutnya perlu dipertimbangkan dalam KTT baru-baru adalah ini tidak adanya drama seputar Laut China Selatan. Misalnya, tidak ada pernyataan terpisah yang dikeluarkan oleh sejumlah negara mengenai situasi di Laut China Selatan.
Kemudian, pekerjaan penting bagi Asean dan Indonesia yang memegang keketuaan tersebut adalah memastikan adanya solidaritas dan kesatuan tujuan di dalam Asean. Hal ini menimbang Asean memiliki entitas dan kepentingan yang beragam, termasuk dalam isu-isu penting.
“Tetapi fakta bahwa 10 [negara anggota], dan sekarang 11 negara anggota, keluar dengan satu suara. Inilah hal yang penting,” jelasnya.
Oleh karena itu, menurutnya ini adalah pencapaian yang diam-diam (quiet achievements), yakni pencapaian yang terbentuk bukan karena suara keras yang dibuat, melainkan tidak ada suara sama sekali.
Kemudian, Terkait CoC, Sidharto menuturkan bahwa Indonesia cukup optimis untuk dapat membuat sejumlah terobosan dalam hal negosiasi CoC.
“Negosiasi CoC telah berlangsung beberapa tahun. Kami tidak ingin proses ini berada dalam kondisi inersia. Saya percaya kami memiliki ruang untuk mempercepat negosiasi, semoga segera. Tetapi negosiasi tidak pernah cepat, kecuali jika itu mudah,” ungkapnya.