Bisnis.com, JAKARTA - Buruknya kualitas udara di Jabodetabek menjadi perbincangan hangat di ranah publik. Media mainstream dan media sosial ramai ramai membuat konten soal ini, mengingatkan kita semua betapa bahayanya polusi.
Berdasarkan data IQAir pada hari Kamis, 31 Agustus, indeks kualitas udara di Jakarta mencapai AQI US 186 dengan konsentrasi polutan utama PM2.5 yang 24,7 kali lebih tinggi daripada panduan kualitas udara tahunan WHO.
Tidak ada satu hari terlewati tanpa melihat kelamnya langit Jakarta atau laporan bertambahnya pasien infeksi saluran pernapasan (ISPA). yang naik menjadi 200.000 akibat polusi udara per 24 Agustus 2023. Jumlah ini meningkat empat kali lipat dibandingkan saat pandemi. Tidak heran masyarakat semakin lantang bersuara menuntut kebijakan pemerintah yang dapat memberikan kembali kebebasan kita semua untuk bernapas dengan tenang.
Walaupun buruknya udara di Jakarta bukan hal yang baru dan sudah terdeteksi setidaknya sejak awal 1990an, akses yang mudah ke teknologi pengukur kualitas udara memampukan masyarakat mengecek sendiri kualitas udara di sekitar tempat tinggal serta meningkatkan keingintahuan sumber polutannya.
Sumber polutan inilah yang belakangan menjadi sumber perdebatan, khususnya sektor apa yang paling “bertanggungjawab” sebagai penyumbang polutan terbesar. Publik saat ini menyimpulkan bahwa buruknya kualitas udara di suatu wilayah disebabkan banyak faktor seperti kendaraan bermotor, sektor energi seperti PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), sektor industri, hingga pembakaran sampah.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo telah mengerahkan jajaranya untuk segera mengambil langkah pendek hingga panjang untuk menekan polusi udara, mulai dari rekayasa cuaca dan himbauan untuk bekerja dari rumah, menggalakkan penggunaan transportasi umum, hingga pengawasan sektor industri. Namun, pendekatan perubahan kebijakan ini juga perlu disambut dengan langkah konkret dari sektor privat karena kita semua juga berkontribusi pada emisi.
Baca Juga
Komitmen sektor privat akan terlihat pada visi besar perusahaan dalam menekan polusi sekaligus menjalankan bisnis yang ramah lingkungan dan mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan. Visi tersebut kemudian diturunkan ke dalam strategi manajemen dengan target yang terukur, baik target jangka pendek, menengah ataupun panjang.
Saya bersyukur, perusahaan tempat saya bekerja, PT GoTo Gojek Tokopedia (GOTO), telah mencanangkan komitmen keberlanjutan untuk mencapai Tiga Nol di tahun 2030: Nol Emisi, Nol Sampah, dan Nol Hambatan.
Untuk memastikan komitmen tersebut dijalankan secara konsisten, perseroan melaporkan kemajuan dan tantangan secara berkala. Tidak hanya itu, manajemen juga mengundang auditor independen untuk memastikan implementasi program sesuai dengan standar terbaik di dunia.
Di kesempatan ini, saya ingin berbagi tentang pembelajaran yang kami petik dari perjalanan keberlanjutan kami.
Pertama, kami selalu memulai dari data untuk memahami sumber emisi di perusahaan kami dengan melakukan inventarisasi di scope 1, 2, dan 3. Tentunya setiap industri memiliki karakteristik yang berbeda dan sumber emisi dapat bervariasi secara signifikan. Dari inventarisasi emisi, kami menemukan bahwa dengan model bisnis kami, sumber emisi terbanyak berasal di scope 3 dari bisnis transportasi kami.
Kami menuangkan pembelajaran kami dalam melakukan inventarisasi emisi ke dalam panduan A Practical Guide For Business: Air Pollutant Emission Assessment yang dikeluarkan oleh Alliance for Clean Air oleh World Economic Forum, di mana GoTo merupakan salah satu kontributor. Panduan komprehensif ini memberikan kerangka kerja untuk mengukur emisi kualitas udara bagi perusahaan.
Memahami sumber emisi hanya merupakan langkah pertama; transformasi nyata terjadi ketika perusahaan secara aktif mengambil langkah-langkah untuk mengurangi kontribusi mereka terhadap polusi udara. Dengan data yang spesifik ke model bisnis masing-masing perusahaan, para pemimpin perusahaan dapat mengeluarkan strategi yang jitu dan tepat sasaran untuk mengurangi dampak buruk bisnis ke lingkungan.
Setelah memahami bahwa emisi dari transportasi pada operasi bisnis kami adalah sumber emisi terbesar dari bisnis GoTo, kami mencanangkan strategi untuk memfasilitasi mitra kami bertransisi ke kendaraan listrik yang mengeluarkan lebih sedikit emisi dibanding kendaraan berbahan bakar fosil.
Komitmen GoTo dalam transisi ke energi terbarukan juga mencakup kantor dan gudang di seluruh area operasi. Kami terus mempelajari berbagai cara yang dapat menghasilkan energi terbarukan buat menyukseskan transisi ini.
Sebagai perusahaan teknologi, kami juga berinovasi dari sisi produk untuk memfasilitasi konsumen mengurangi kontribusi emisi individual mereka, misalnya melalui peluncuran GoTransit yang mendorong penggunaan transportasi umum (KRL) dan GoRide/GoCar sebagai penghubung dari atau ke stasiun kereta. Penggunaan kereta dapat mengurangi emisi per kilometer hingga 79% dibanding dengan penggunaan mobil dan hingga 60% dibanding dengan penggunaan motor untuk seluruh perjalanan.
Menurut riset yang dilakukan oleh Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gajah Mada, implementasi dari integrasi layanan Gojek dengan KRL Commuter di kawasan Jabodetabek melalui GoTransit, telah mendorong 38,7% pengguna Gojek untuk juga menggunakan layanan Commuterline yang juga sama dengan pengurangan hingga lima ribu ton emisi gas buang. Potensi ini tentunya masih memiliki ruang yang jauh lebih besar sejalan dengan upaya kami di dalam mengembangkan integrasi transportasi publik lainnya melalui GoTransit. Perusahaan lain juga dapat menggali potensi produk atau layanan mereka yang dapat membantu konsumennya untuk mengurangi jejak emisi mereka.
Terakhir, seperti slogan kami “Go Together, Go Far, kami percaya bahwa kita selalu dapat mencapai lebih banyak bersama-sama. Oleh karena itu, kami mengundang perusahaan-perusahaan lain untuk mengambil tindakan bersama dalam mengurangi polusi udara, termasuk juga mendukung pemerintah untuk transisi ke sumber energi yang lebih bersih dan terbarukan.
Pada akhirnya kami menyadari dengan kerendahan hati bahwa polusi udara merupakan masalah kompleks, yang tidak hanya bisa diselesaikan oleh satu atau dua pihak, tetapi memerlukan strategi dan kerjasama menyeluruh dari sektor publik dan juga privat.
Satu solusi juga tidak bisa diagung-agungkan hanya sebagai solusi semata. Misalnya, kami menyadari bahwa transisi ke kendaraan listrik hanya merupakan satu langkah kecil untuk mengurangi emisi yang dapat lebih diperkuat ketika Indonesia telah mengurangi ketergantungannya pada batu bara untuk membangkitkan tenaga listrik. Oleh karena itu, kami membuka peluang bagi kolaborasi dalam upaya ini, karena kami percaya bahwa kolaborasi adalah kunci untuk mencapai perubahan yang berkelanjutan dan positif.
Pada akhirnya, kita semua ingin kembali bebas bernapas dan menghirup udara tanpa rasa khawatir sembari melihat cerahnya langit.