Bisnis.com, JAKARTA -- Prabowo Subianto di atas kertas menjadi calon presiden (capres) paling kuat usai memperoleh dukungan dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar. Prabowo kini didukung 5 partai yakni Gerindra, Golkar, PKB, PAN dan Partai Bulan Bintang alias PBB.
PBB satu-satunya partai non-parlemen. Jika digabungkan berdasarkan hasil Pilpres 2019, koalisi pendukung Prabowo mewakili 42,2 persen atau setara 59 juta suara.
Sementara jika mengacu peta kekuatan di parlemen, koalisi Prabowo menguasai 46 persen di DPR. Ini jauh lebih kuat dibandingkan koalisi pendukung Anies Baswedan yang hanya menguasai 28,3 persen kursi palemen. Koalisi Anies terdiri dari tiga partai yakni NasDem, Demokrat dan PKS.
Sedangkan koalisi Ganjar yang terdiri dari dua partai parlemen yakni PDI Perjuangan (PDIP) dan PPP hanya memiliki kekuatan sebanyak 25,5 persen.
Arah dukungan Golkar dan PAN kepada Prabowo juga menandai pecahnya koalisi pendukung pemerintah. Partai pendukung pemerintah kini terpencar ke dalam tiga koalisi. NasDem ke koalisi Anies, PDIP dan PPP ke Ganjar, dan sisanya atau sebagian besar berkumpul mendukung Prabowo Subianto.
Meski memiliki dukungan politik jumbo, setidaknya secara kuantitatif, koalisi Prabowo memiliki ujian yang cukup besar, terutama dalam penentuan calon wakil presiden atau cawapres. Masuknya Golkar dan PAN dengan agenda masing-masing mengancam posisi PKB. Golkar ingin menyodorkan Airlangga Hartarto sebagai cawapres. Sedangkan PAN mengusung nama Erick Thohir.
Baca Juga
PKB, partai yang pertama kali mendeklarasikan Prabowo sebagai capres tetap berkukuh mendorong Muhaimin Iskandar alias Cak Imin supaya mendampingi Prabowo dalam kontestasi Pilpres 2024. Namun demikian keinginan PKB tampaknya belum memperoleh respons positif dari partai-partai lainnya.
Malah yang menarik, PAN justru mengusulkan perubahan nama koalisi menjadi Koalisi Indonesia Maju Berdaulat. Usulan ini praktis menghapus nama koalisi yang telah dideklarasikan oleh Gerindra dan PKB yakni Koalisi Kebangkitan untuk Indonesia Raya (KKIR).
Apakah usulan perubahan bisa diartikan upaya menghapus jejak PKB dalam koalisi Prabowo?
Cak Imin sendiri belakangan kerap melakukan manuver politik. Sembari menegaskan kursi cawapres harga mati, politikus asal Jombang itu secara intens menjalin komunikasi dengan PDIP. Dia bertemu Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Sekitar dua tiga hari lalu, Cak Imin juga bertemu dengan Ganjar Pranowo. Ganjar adalah capres dari PDIP kemungkinan lawan Prabowo pada Pilpres 2024 nanti.
Gerak-gerik Cak Imin dengan PDIP ini memunculkan banyak tafsir. Ada yang menganggap itu sebagai komunikasi politik biasa. Adapula yang mengartikan kedekatan Cak Imin dengan PDIP sebagai tanda hengkangnya PKB dari koalisi Gerindra.
Namun demikian, di tengah ketidakjelasan siapa cawapres Prabowo, muncul isu mengenai sosok Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam proses kandidasi cawapres Prabowo. Munculnya nama Gibran menjadi bahan pergunjingan banyak politisi karena bertepan dengan proses judicial review Pasal 169 huru q Undang-undang Pemilu.
Substansi Pasal itu mengatur tentang batas minimal seseorang yang boleh dicalonkan sebagai cawapres. UU existing mengatur batas bawahnya adalah usia 40 tahun. Jika itu dikabulkan dan usia cawapres bisa di bawah 40 tahun, maka peluang Gibran menjadi cawapres entah untuk Prabowo maupun Ganjar sangat terbuka.
Apalagi PDIP maupun Gerindra sama-sama menyatakan minat untuk meminang Gibran sebagai cawapres. Tak ayal, posisi strategis Gibran itu memunculkan banyak pertanyaan, apakah munculnya Gibran akan menjadi jalan tengah sekaligus mengakhiri kebuntuan penentuan cawapres Prabowo?