Bisnis.com, JAKARTA -- Kerusuhan besar di Paris, Prancis semakin memanas imbas penembakan remaja berusia 17 tahun hingga tewas pada Selasa, (27/6/2023) lalu. Aksi massa mengular ke berbagai wilayah Prancis, seperti Lyon, Lille, Strasbourg, Toulouse, Marseille, dan Paris.
Dikutip dari Channel News Asia, Sabtu (1/7/2023), pemerintah Prancis telah mengerahkan 45.000 petugas dengan kendaraan berlapis baja untuk mengurai aksi protes yang disertai kekerasan itu.
Presiden Prancis Emanuel Macron bergegas kembali dari KTT Uni Eropa ke negaranya untuk memantau kerusuhan tersebut, sekaligus berunding membuat opsi penyelesaian dari kerusuhan yang semakin brutal.
Para perusuh kini membakar mobil, bangunan, dan menjarah toko-toko di seluruh Prancis dalam kurun waktu 4 malam terakhir. Hingga Jumat (1/7/2023) kemarin, pihaknya telah menangkap lebih dari 800 perusuh.
Sementara itu, laporan dari Independent UK menyebutkan bahwa pihak berwenang pun ikut melakukan aksi pembakaran, pertempuran kecil di beberapa kota. Kerusuhan ini dinilai memiliki latar belakang rasisme sistmeik yang terjadi sejak lama.
Lantas, apa sebenarnya yang memicu kemarahan masyarakat hingga terjadi kerusuhan besar di Paris?
Baca Juga
Berikut 4 fakta penyebab kerusuhan besar di Paris
1. Kronologi Penembakan Remaja 17 Tahun
Pada 27 Juni 2023 pagi, remaja bernama Nahel M (17 tahun) yang merupakan keturunan Afrika Utara, tepatnya Aljazair dan Maroko mengendarai mobil mobil di Nanterre. Dia dinilai tidak mematuhi perintah polisi untuk memberhentikan mobilnya karena melanggara lalu lintas.
Remaja itu dilaporkan mengendarai mobil di jalur busway, polisi meminta pengendara mobil itu untuk menepi dan memarkirkan mobilnya ke pinggir jalan. Namun, remaja tersebut terus berjalan tanpa mengikuti perintah polisi tersebut.
Ketika mobil itu berhasil lolos, salah satu petugas polisi menembak dari jarak dekat melalui jendela pengemudi. Nahel meninggal akibat satu tembakan yang menembus lengan kiri dan dadanya.
Jaksa penuntut umum Pascal Prache mengatakan Petugas polisi tersebut mengakui telah melepaskan tembakan karena khawatir dia atau orang lain akan terluka setelah remaja tersebut diduga melakukan beberapa pelanggaran lalu lintas.
Pengacara petugas Laurent-Franck Lienard mengatakan bahwa kliennya membidik ke arah kaki pengemudi namun terbentur, sehingga dia menembak ke arah dadanya.
"Dia harus dihentikan, tetapi jelas (petugas) tidak ingin membunuh pengemudi," kata Lienard.
Kini, petugas polisi tersebut telah ditahan untuk menenangkan para demonstran. Di sisi lain, Jaksa Prache mengatakan remaja bernama Nahel itu sudah dikenl oleh polisi karena beberapa kali melanggar aturan lalu litnas.
2. Amukan Massa
Bentrokan pertama meletus Selasa malam di dan sekitar Nanterre, pinggiran Paris, tempat Nahel tewas. Tempat sampah dibakar dan beberapa pengunjuk rasa melemparkan kembang api ke arah polisi.
Petugas menggunakan gas air mata ke arah massa. Pemerintah mengerahkan 2.000 polisi untuk menjaga ketertiban pada Rabu. Tapi kekerasan berlanjut setelah senja. Sekitar 40.000 polisi dikerahkan di seluruh Prancis pada hari Kamis.
Namun, hingga hari ini, Jumat (1/7/2023) kerusuhan masih terjadi dan polisi yang diturunkan bertambah menjadi 45.000 petugas.
3. Penyulut Kerusuhan
Latar belakang Nahel sebagai keturunan Afrika Utara, santer disorot oleh masyarkaat. Inseden ini menguak keresahan yang lama terpendam akan kekerasan polisi dan rasisme sistemik dalam lembaga penegak hukum terhadap beragam etnis di Prancis.
Dalam beberapa tahun terakhi, tak sedikit orang tewas atau menderita luka-luka di tangan polisi, hal ini mendorong tuntutan untuk lebih banyak pertanggungjawaban. Prancis menjadi tempat amukan massa terhadap ketidakadilan lainnya setelah pembunuhan George Floyd oleh polisi di Minnesota.
Juru Bicara Kepolisian Nasional Prancis, pembunuhan remaja 17 tahun ini merupakan penembakan fatal ketiga di Prancis sejauh ini pada 2023. Tahun lalu ada rekor 13 penembakan seperti itu.
Ada tiga pembunuhan akibat pelanggaran lalu lintas pada 2021 dan dua pada 2020, menurut penghitungan Reuters, yang menunjukkan mayoritas korban sejak 2017 adalah orang kulit hitam atau keturunan Arab.