Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nasib Partai Islam Kian Suram pada Pemilu 2024?

Masa depan partai Islam kian tak pasti ceruk suaranya semakin menyempit dan diproyeksikan tak banyak bersuara pada Pemilu 2024 nanti.
Ilustrasi partai Islam
Ilustrasi partai Islam

Bisnis.com, JAKARTA -- PPP kembali mencoba peruntungan dalam Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Mereka ingin comeback dan kembali meneguhkan PPP sebagai rumah besar bagi umat Islam.

PPP adalah salah satu partai paling tua yang masih bertahan hingga saat ini. Namun usai reformasi dan menjamurnya partai-partai Islam mulai dari PKB, PAN, hingga PKS, suara PPP,  termasuk suara partai Islam secara umum, tak mampu bicara banyak.

Argumentasi ini mengecualikan PKS. Sebagai partai kader, perolehan suara PKS cenderung stabil. Mereka selalu berada di tengah-tengah, tidak terlalu besar tetapi pada saat yang sama juga bukan bagian dari partai gurem.

Sementara itu, partai Islam lainnya terjebak sebagai golongan mediocre, biasa-biasa saja. Sejak berlangsungnya pemilihan secara langsung, belum ada satupun kader atau tokoh partai Islam yang mampu merebut kursi presiden.

Padahal, secara populasi, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun 2022 pemeluk Islam di Indonesia sebanyak 241,7 juta atau 87,02 persen dari total populasi yang mencapai 277,75 juta jiwa.

Meski memiliki populasi yang cukup besar bahkan kerap dinobatkan sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, suara umat Islam selalu pecah dan kalah dari partai nasionalis atau semi nasionalis setiap kontestasi politik berlangsung.

Pada Pemilu 2019 lalu misalnya, suara umat Islam tidak bulat dan terpecah ke empat partai PKB, PAN, PKS dan PPP. Itupun kalau digabungkan, jumlahnya tak lebih dari 30 persen. Hanya sekitar 29,6 persen atau mengalami stagnasi dibandingkan Pemilu 2014.

Sayangnya proyeksi Pemilu 2024 juga menunjukkan tren perolehan suara maupun kursi yang lebih buruk lagi. Partai Islam akan semakin kehilangan konstituennya. Partai Islam diprediksi kalah bersaing dengan partai nasionalis dan partai beraliran semi nasionalis semi religius atau yang mengklaim sebagai partai nasionalis religius.

Penyusutan suara partai Islam jelas berdampak kepada keseimbangan kekuasaan di eksekutif maupun legislatif. Kepentingan-kepentingan umat Islam bisa terabaikan karena semakin menyusutnya kekuatan suara dan pengaruh mereka dalam peta kontestasi politik nasional.

Survei terbaru Indikator Politik dalam dipublikasikan pada 30 April 2023 lalu mengungkap kemungkinan partai Islam yang lolos parliementary threshold 4 persen pada Pemilu 2024 hanya ada dua partai yakni PKB dengan elektabilitas 6,6 persen dan PKS sebanyak 4,7 persen

Sementara dua partai parlemen saat ini, PAN dan PPP, diprediksi tidak akan lolos ke Senayan karena elektabilitas kedua partai tersebut masing-masing hanya sebanyak 2,5 persen dan 2,4 persen. 

Kecenderungan yang sama juga ditunjukkan dalam survei Lembaga Survei Indonesia atau LSI. Versi LSI, kalau Pemilu berlangsung 31 Maret sampai dengan 4 April 2023 lalu, partai Islam yang lolos ke parlemen hanya PKS dan PKB. Itupun perolehan suara dari responden hanya berkisar 7,6 persen dan PKB 4,4 persen.

Sedangkan partai Islam lainnya seperti PPP, PAN, Partai Ummat hingga PBB berpotensi menjadi partai gurem. Elektabilitas mereka tak sampai 4 persen malah berada di kisaran 0,7 persen sampai dengan 1,4 persen.

Data tersebut mengonfirmasi gejala penurunan minat pemilih terhadap partai politik Islam. Tren penurunan itu juga mengindikasikan bahwa pada Pemilu 2024 nanti suara partai Islam kemungkinan hanya tersisa 11,3 persen hingga 12 persen.

Angka ini melorot jauh dibandingkan capaian tahun Pemilu 2019. Suara partai Islam di parlemen akan terus melemah dan jauh dari gegap gempita kontestasi kekuasaan di level elite. Mereka terjebak sebagai partai mediocre, biasa-biasa saja dan semakin ditinggalkan pemilihnya. 

Bagaimana dengan PPP?

PPP merupakan fusi dari berbagai macam ideologi politik maupun partai politik yang berlandaskan Islam. Fusi ini terjadi seiring dengan penerapan 'politik massa mengambang' yang dijalankan oleh Ali Moertopo, saat rezim Orde Baru sedang mengonsolidasikan kekuasan pada 1970-an silam.

Kendati demikian, fusi partai Islam itu tidak serta merta menjadikan PPP sebagai pemenang Pemilu. Suara PPP selalu berada di bawah superioritas Golkar.

Pada pemilu 1977, misalnya, PPP hanya berhasil meraup suara sebanyak 99 kursi atau 27,5 persen dari 360 kursi parlemen. Angka ini jauh di bawah Golkar yang memperoleh 232 kursi atau 64,4 persen suara. PDI adalah cerita lain dalam sejarah Orde Baru. Partai ini selalu memperoleh suara paling sedikit dalam setiap Pemilu berlangsung.

Pada tahun 1982, suara PPP justru tergerus. Partai ini hanya memperoleh 94 kursi atau turun sebanyak 5 kursi. Demikian juga dengan PDI yang turun dari 29 menjadi 24 kursi. Suara beralih ke Golkar yang naik 10 kursi menjadi 242.

Suara PPP kembali tergerus pada pemilu 1987 menjadi 61 kursi atau anjlok menjadi 15,2 persen kursi di parlemen. Suara PPP digerus oleh melonjaknya suara PDI yang naik menjadi 40 kursi akibat Megawati Effect.

Pada dekade 1990-an, suara PPP membaik. Era keterbukaan menggerus suara Golkar sebagai penguasa. Pada pemilu 1992, PPP memperoleh kursi sebanyak 62 atau sebanyak 15,5 persen dari 400 kursi. 

PDI menjadi partai yang paling banyak memperoleh swing voter dari Golkar dengan perolehan 56 kursi atau mampu tembus di angka 14 persen. Suara Golkar tergerus menjadi 282 kursi. 

Menariknya, suara PPP di Pemilu 1997 kembali melonjak. PPP memperoleh sebanyak 89 kursi atau 20,9 persen dari 425 kursi. Melonjaknya suara PPP terjadi usai represi pemerintah Orde Baru terhadap PDI pro Mega (Megawati Soekarnoputri). Terutama setelah peristiwa 27 Juli 1996 atau Kuda Tuli.

Golkar suaranya kembali naik menjadi 325 kursi karena mendapat sokongan militer dan penguasa. Sementara PDI harus puas di peringkat buncit. Kursinya hanya tersisa sebanyak 11 di DPR akibat tekanan dari penguasa.

Pada awal reformasi dengan sistem multi partai, nasib PPP sebenarnya lebih baik. Pada Pemilu 1999, mereka mendapat kursi sebanyak 58, Pemilu 2004 58 suara, Pemilu 2009 turun menjadi 38 suara, tahun 2014 39 kursi.

Namun pada Pemilu 2019, suara PPP anjlok menjadi 29 kursi atau turun 10 kursi. Pemicunya banyak hal karena perebutan ceruk suara partai Islam yang kian kompetitif dan konflik internal yang datang silih berganti.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper