Bisnis.com, JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta merilis riset dan survei layak jurnalis di Jakarta untuk tahun 2023 sebesar Rp8.299.229. Selain merilis hasil survei, AJI Jakarta bersama LBH Pers juga memaparkan mengenai perselisihan ketenagakerjaan selama periode 2022.
Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut mengatakan hasil survei ini perlu dikaji kembali secara serius apakah memang masih terkena residu atau imbas dari pandemi atau tidak. Menurutnya, AMSI juga pernah melakukan survei terkait daya tahan media siber di masa pandemi dan setahun sesudahnya.
Banyak anggota AMSI, kata Wens, yang merupakan media skala kecil, bukan media besar atau korporasi berjejaring yang menggurita sehingga kesulitan membayar upah secara layak atau melakukan pemotongan karena cash flownya terganggu.
"Banyak perusahaan, lembaga dan kementerian yang memotong anggaran iklannya. Ada yang iklan, bayarnya baru tiga bulan ke depan. Ini juga kepusingan yang dialami oleh perusahaan media skala kecil hingga menengah,” kata Wens dalam diskusi soal upah layak jurnalis, Selasa (11/4) di Jakarta.
Dari hasil riset AMSI itu, kata Wens, media-media skala kecil dan menengah ini, cash flownya untuk bertahan hanya sampai 3 bulan, sementara media besar atau korporasi sekitar 1 tahun-1,5 tahun. Jika bertahan, media-media ini masih dalam tahap pemulihan.
Wens yang juga Direktur Konten KLY mengatakan implementasi upah layak sedikit sulit jika profesi jurnalis ini masih dilihat dari sudut pandang UU Ketenagakerjaan.
Baca Juga
Pasalnya, UU Ketenagakerjaan akan menyamakan profesi jurnalis dengan pekerjaan lainnya yang memang upahnya sangat minimal sekali. Padahal secara risiko dan beban kerja, jurnalis itu sangat berat.
"Media itu kan punya UU Pers yang Lex Specialis. Dorong saja aturannya menggunakan itu. Misalnya hitungan upah layaknya berapa. Jadi, nanti jumlah media akan terseleksi sendiri. Media bagus dan berkualitas akan menghargai kesejahteraan jurnalisnya, yang tidak sanggup tutup,” ujarnya.
Wens mengandaikan profesi jurnalis yang dihargai secara layak dan tinggi seperti dokter, insinyur, arsitek, psikolog dan lainnya. Soal ini, asosiasi profesi terkait jurnalistik harus membicarakan serius dengan Dewan Pers.
Sementara, Ahmad Fathanah dari LBH Pers mengatakan pola perselisihan jurnalis dengan perusahaan selama beberapa tahun terakhir tidak berubah. Dalam ketentuan Dewan Pers suatu perusahaan pers atau media bisa dibekukan atau dicabut verifikasinya jika melanggar aturan upah ketenagakerjaan, misalnya tidak membayar pesangon dan tidak membayar upah yang disepakati.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu dalam kesempatan yang sama mengatakan saat memverifikasi suatu perusahaan media ada salah satu syarat yang harus dipenuhi yaitu kesanggupan perusahaan membayar upah layak bagi pekerjanya, baik itu jurnalis maupun bagian bisnisnya.
Sedangkan Lusiani Lia, dari ILO Jakarta mengatakan pemerintah sudah meratifikasi Konvensi 100 soal kesetaraan upah antara laki-laki dan perempuan. Selain, banyak hal yang juga perlu disoroti, seperti kemampuan dari perusahaan sehingga memang perlu ada kesepakatan bersama.
"Jadi yang memang didorong adalah perundingan bersama, antara manajemen perusahaan dan pekerja. Jadi upah layak harus dilihat juga dari sudut pandang kemampuan perusahaan. Jadi memang intinya dialog bersama, karena mempertimbangkan aspek sosial dan keekonomian atau bisnis," jelasnya.
ILO, lanjut Lusiani, mencoba mendampingi pemerintah untuk terus memperbaiki kebijakan upah agar lebih layak demi kesejahteraan masyarakat berbasis penelitian empirik, tentunya juga dengan konteks keadilan baik itu kepada pekerjanya maupun pengusaha.