Bisnis.com, JAKARTA -- Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E bisa bernafas lega. Dia menerima vonis ringan 1,5 tahun penjara dan tidak dipecat dari Polri. Statusnya sebagai justice collaborator (JC) menjadi alasan pemaaf sekaligus penyelamat kesalahan Eliezer.
"Terduga pelanggar merupakan seorang JC yang ditetapkan oleh majelis hakim,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan.
Sementara itu, soal pelanggaran penggunaan senjata api, Komite Etik Polri beralasan Bharada E berada di bawah tekanan Ferdy Sambo. Bharada E dalam keadaan terpaksa dan tidak bisa menolak perintah Sambo saat menembak Brigadir J.
Tentu saja alasan-alasan 'pemaaf' bagi Eliezer bisa dilihat dari banyak sisi. Namun yang menjadi pertanyaaan adalah kenapa alasan serupa tidak diberikan kepada pelaku lainnya. Bukankah beberapa polisi yang dipecat maupun kena sanksi demosi juga berada dalam posisi psikologis yang sama dengan Eliezer?
Mereka 'terpaksa' merusak barang bukti, tidak bersikap profesional, atau berbicara tidak terus terang karena status Sambo, seorang jenderal yang menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Polisinya polisi. Secara hierarki mereka tidak mungkin menolak permintaan atau perintah seorang jenderal.
Sementara Eliezer adalah bagian penting dari cerita besar pembunuhan Brigadir J. Dia salah satu pelaku kunci. Tentu selain Ferdy Sambo. Otak sekaligus penyusun skenario pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Baca Juga
Secara itung-itungan peran, sepertinya sanksi demosi 1 tahun dan 1,5 tahun penjara mengundang banyak tafsir. Mungkin ada pertimbangan tertentu yang membuat hakim atau komite etik menjatuhkan vonis ringan terhadap Bharada E. Status JC dan kejujuran Bharada E misalnya.
Eliezer memang sosok kunci dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Namun, dia juga memiliki andil mengungkap kasus sekaligus skenario pasca pembunuhan seniornya itu. Dia konon yang membuka kedok skenario Ferdy Sambo.
Selama persidangan Eliezer juga memberikan keterangan secara terbuka. Bahkan berani berseberangan dengan Sambo. Tetapi, apakah sikap Eliezer itu menjadi pertimbangan utama hakim memvonis ringan? Wallahualam. Hanya hakim yang tahu.
Yang jelas sejak awal kemunculannya, sosok Eliezer memang cukup misterius. Dia baru muncul 11 hari setelah peristiwa itu terungkap ke publik. Sebelum itu, orang bertanya-tanya tentang sosok Bharada E. Jangan-jangan hanya tokoh rekaan. Apalagi, isu yang beredar waktu itu, dialah sosok polisi yang terlibat aksi tembak menembak dengan Brigadir J.
Aksi tembak menembak adalah cerita karangan Sambo. Cerita ini sengaja dirangkai sedemikian rupa sebagai skenario cuci tangan usai pembunuhan Brigadir J. Namun ibarat pepatah sepandai-pandainya tupai melompat, skenario Sambo akhirnya terbongkar juga. Pengakuan Eliezer mengubah jalannya cerita.
Ternyata yang terjadi bukan tembak menembak. Brigadir J tewas ditembak. Pelakunya adalah Eliezer. Dia diperintah oleh Sambo. “Woy.. woy cepat tembak.” Perintah inilah yang kemudian memicu Eliezer menarik pelatuk senjatanya. Tembakan mengenai tubuh Brigadir Yosua. Yosua tumbang seketika. Cerita awal berakhir sampai di sini.
Sampai pada sidang putusan beberapa waktu lalu, hakim mengungkap cerita lain yang mengejutkan. Sambo ternyata, ini menurut hakim, ikut menembak Brigadir J. Sebelum mengeksekusi, Sambo mengenakan sarung tangan hitam. Lagi-lagi ini dilakukan untuk menghapus jejak berdarahnya.
Sayangnya, hakim tidak menjelaskan tembakan siapa yang kemudian merenggut nyawa Brigadir J. Sambo atau Bharada E? Tidak ada yang tahu sampai sekarang, tembakan siapa yang paling fatal. Yang jelas fakta persidangan membuktikan bahwa Sambo dan Eliezer adalah pelaku pembunuhan Brigadir J.
Hanya saja nasib keduanya berbeda. Ferdy Sambo, yang terbukti sebagai otak pembunuhan diganjar dengan hukuman mati. Lebih berat dari tuntutan jaksa. Sambo juga kehilangan statusnya sebagai rising star karena dipecat Polri.
Sedangkan Bharada E mendapat vonis yang sangat ringan: 1,5 tahun. Padahal jaksa sebelumnya menuntut Eliezer 12 tahun penjara. Bharada Eliezer juga tetap menjadi anggota polri meski telah divonis bersalah oleh pengadilan. Eliezer juga banjir dukungan dari publik.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD bahkan cukup puas dengan vonis Eliezer. Dia berpendapat bahwa vonis terhadap Bharada E telah mewakili keadilan publik. Sesuai harapan masyarakat luas.
"Saya tidak tahu mengapa hati saya bergembira dan bersyukur. Saya melihat hakim punya keberanian. Putusannya sudah logis."
Menariknya lagi, jaksa tidak banding terhadap vonis Eliezer. Padahal awalnya jaksa cukup menggebu-gebu saat membacakan tuntutan terhadap Eliezer. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana, misalnya dengan tegas menyebut bahwa tuntutan itu telah menghitung banyak hal. Termasuk peran Eliezer dalam pengungkapan perkara kematian Brigadir J.
“Justru jaksa mempertimbangkan justice collaborator (JC) itu,” tegas Zumhana.
Tetapi usai vonis Eliezer, jaksa diam seribu bahasa. Mereka hanya memastikan tidak akan banding dalam kasus Bharada Eliezer. Alhasil perkara ini inkracht alias berkekuatan hukum tetap. Bharada E segera menghirup udara bebas. Statusnya sebagai justice collaborator memberi peluang Eliezer bebas lebih awal dari masa hukuman.