Bisnis.com, JAKARTA -- Ferdy Sambo divonis mati. Putusan itu keluar setelah persidangan yang panjang. Banyak orang, barangkali mayoritas penduduk NKRI, lega dengan vonis pengadilan. Vonis mati Sambo, kalau kata Mahfud MD, telah sesuai rasa keadilan publik.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa, pidana mati!" kata Majelis Hakim Wahyu Imam Santoso, kemarin.
Usai pembacaan putusan, suasana pengadilan riuh. Ucapan hakim juga sedikit terbata-bata. Jemari tangan kanannya tak berhenti mengetuk-ngetuk meja pengadilan. Hakim Wahyu sepertinya agak grogi saat membacakan vonis Sambo.
Maklum, meski sekarang menjadi pesakitan. Sambo tetap bukan orang biasa. Dia adalah jenderal bintang dua, atau setidaknya mantan jenderal di institusi Polri. Punya pengalaman mengungkap kasus-kasus besar. Loyalis masih eksis. Jabatannya dulu juga mentereng, Kepala Divisi Profesi dan Keamanan Polri alias Kadiv Propam. Polisinya polisi.
Vonis mati terhadap Sambo adalah sejarah baru dalam penegakan hukum. Seorang jenderal dihukum mati. Ini tentu terlepas benar atau tidak dia membunuh Brigadir J. Yang jelas palu telah diketuk. Putusan telah dibacakan. Sambo dinyatakan resmi bersalah dan jadi satu-satunya jenderal termuda yang divonis mati.
Kendati demikian, pihak Sambo tentu saja tidak tinggal diam. Mereka masih menimbang apakah mau mengajukan banding atau menerima putusan itu. Yang jelas bagi mereka, vonis mati tidak semestinya terjadi. Sangat jauh dari rasa keadilan. Putusan hakim, kalau versi Sambo, tidak berdasarkan fakta, tetapi asumsi!
Baca Juga
Fakta-fakta hukum memang sering bercampur dengan persepsi publik sejak kasus Sambo terungkap. Ini terjadi karena begitu besarnya perhatian masyarakat. Publik geram dengan 'tingkah' Sambo yang tega mengeksekusi anak buahnya sendiri, Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Cerita itu kadang disertai bumbu sana-sini yang membuat mana fakta mana cerita kian kabur.
Semua cerita dan mitos tentang Sambo itu terbentuk karena tidak jelasnya motif pembunuhan Brigadir J. Fakta bahwa Brigadir J tewas dibunuh Sambo Cs memang tidak terbantahkan. Itu sudah diputus oleh pengadilan. Tetapi, apa yang melatarbelakangi Sambo nekat membunuh Yosua sampai sekarang belum terjawab.
Hakim misalnya hanya mengungkap samar-samar motif pembunuhan Yosua. Misalnya, soal sakit hati Putri Candrawathi, istri Sambo, kepada korban Yosua. Tidak jelas apa yang memicu sakit hati Putri ke Yosua. Apakah karena tindakan tak senonoh atau perilaku kurang berkenan lainnya. Wallahualam, karena sampai dengan putusan dibacakan pemicu sakit hati Putri ke Yosua tidak juga terungkap.
Malah kalau sedikit menengok ke belakang, fakta menarik yang terungkap selama persidangan adalah adegan 15 menit di rumah Magelang. Sayang persidangan berlangsung tertutup saat itu. Alhasil publik tidak mengetahui secara gamblang apa yang terjadi antara Yosua dan Putri di kamar rumah Magelang.
Insiden kamar antara Brigadir J dan Putri terjadi pada Kamis tanggal 7 Juli 2022 sekira sore hari. Saat itu terjadi keributan antara Brigadir J dan Kuat Ma’ruf. Pada pukul 19.30 WIB, Putri menelepon Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E). Bharada E saat itu berada di Masjid Alun-alun Kota Magelang.
Putri meminta agar saksi Bharada E dan Bripka Ricky Rizal Wibowo (RR) kembali ke rumah Magelang. "Sesampainya di rumah, keduanya mendengar ada keributan namun tidak mengetahui secara pasti apa yang terjadi di rumah,’ tulis dakwaan.
Bharada E dan Bripka RR kemudian masuk ke kamar Putri Candrawathi. Saat itu Putri sedang tiduran dengan berselimut di atas kasur. Bripka Rizal kemudian bertanya kepada istri Ferdy Sambo.
“Ada apa bu?” tanya Bripka Rizal (RR).
“Dimana Yosua!” timpal Putri.
Putri meminta Bharada E dan Bripka RR memangil Brigadir J. Namun Bripka RR tidak langsung memanggil Brigadir J. Dia terlebih dahulu turun ke lantai satu untuk mengambil senjata api HS Nomor seri H233001 dan senjata laras Panjang jenis Steyr Aug, Kal. 223, nomor pabrik 14USA247 yang berada di kamar tidur Brigadir J.
Setelah mengamankan senjata, Bripka RR kemudian menghampiri Brigadir J yang berada di depan rumah. Keduanya sempat terlibat percakapan.
“Ada apaan Yos.....,” tanya Bripka RR.
“Enggak tahu bang, kenapa Kuat marah sama saya,” celetuk Brigadir J.
Percakapan tak berlangsung lama. Bripka RR kemudian mengajak Brigadir J masuk ke rumah menemui Putri Candrawathi. Brigadir J awalnya menolak. Namun Bripka RR membujuk supaya juniornya itu memenuhi permintaan Putri.
Singkat cerita, Brigadir J akhirnya mau menuju ke dalam rumah. Dia bersedia menemui Putri Candrawathi di kamar yang berada di lantai dua. Putri tampak duduk di atas kasur sambil bersandar. Bripka RR kemudian meninggalkan mereka berdua di kamar.
Brigadir J dan Putri, menurut dakwaan jaksa, berada di kamar tersebut selama 15 menit. “Korban Brigadir J berdua berada di dalam kamar pribadi saksi Putri sekira 15 (lima belas) menit lamanya,” tulis jaksa.
Adegan cuma sampai situ. Publik hanya disajikan cerita setelah insiden Magelang. Yosua terlibat keributan dengan Kuat Ma'ruf, anak buah Ferdy Sambo yang lain. Dari cerita ini kemudian muncul adegan-adegan selanjutnya. Puncaknya adalah pembunuhan Brigadir J di Rumah Dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Menariknya saat pembacaan putusan kemarin, Sambo terbukti ikut mengeksekusi Brigadir J. Saat menembak, kata hakim, Sambo mengenakan sarung tangan warna hitam. Peluru dan pistol jenis Glock menjadi bukti sekaligus saksi tangan berdarah jenderal Sambo.
Hakim sendiri berkesimpulan tindakan Sambo gegabah. Tidak pantas. Kalau merunut cerita jaksa, saksi, dan fakta yang terungkap selama persidangan bisa jadi, Sambo adalah korban 'dramatisasi' cerita istrinya sendiri. Apalagi hakim jelas-jelas menegaskan bahwa motif pembunuhan Yosua bukan pelecehan seksual, tetapi sakit hati Putri Candrawathi.
"Perbuatan atau sikap korban Yosua Hutabarat menimbulkan perasaan sakit hati yang begitu mendalam terhadap Putri Candrawathi."