Bisnis.com, JAKARTA -- Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 5/2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan mengatur sejumlah poin strategis dalam proses penyelesaian perkara atau kejahatan keuangan.
Salah satunya poin tentang penyelesaian perkara kejahatan keuangan dengan prinsip keadilan restoratif dan ultimum remedium.
Prinsip keadilan restoratif telah banyak diterapkan dalam tindak pidana umum baik di kepolisian maupun di kejaksaan. Namun demikian, praktik ini biasanya diterapkan dalam kasus pidana kelas teri alias ringan.
Restorative justice jika mengacu Peraturan Kepolisian No.8/2021 adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku maupun korban hingga tokoh masyarakat untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian.
Proses perdamaian ini bisa dilakukan dengan menekankan pemulihan kembali kepada keadaan semula. Salah satunya dengan membayar ganti rugi.
Sementara prinsip ultimum remedium menekankan bahwa upaya pemidanaan adalah jalan terakhir dalam proses penegakan hukum. Tujuan pemidanaan, kalau sesuai prinsip ini, bukan untuk memenjarakan, tetapi memulihkan kerugian yang dialami oleh korban atau pihak yang dirugikan. Skema ini mirip dengan konsep ultimum remedium pidana pajak.
Baca Juga
"Koordinasi dengan polisi dilaksanakan melalui kegiatan operasional Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan dengan mengutamakan prinsip keadilan restoratif dan ultimum remedium," demikian dikutip dari Pasal 7 ayat 1 PP No.5/2023, Rabu (1/2/2023).
Ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian perkara kejahatan keuangan atau tindak pidana di sektor keuangan dengan prinsip restorative justice dan ultimum remedium itu dipertegas dalam sejumlah pasal di beleid tersebut.
Pasal 8 huruf d, misalnya, menyebutkan bahwa dalam melakukan penyidikan tindak pidana keuangan, penyidik Polri dan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK melakukan gelar perkara khusus.
Gelar perkara khusus itu untuk menentukan tindak lanjut penyidikan oleh penyidik Polri dalam hal penyidik OJK akan atau telah menghentikan penyelidikan atau penyidikan berdasarkan prinsip keadilan restoratif dan ultimum remedium.
Sementara itu, teknis mengenai pelaksanaan prinsip tersebut diatur dalam Pasal 9 PP No.5/2023. Pasal ini secara umum mengatur kewenangan OJK untuk memulai, tidak dilakukannya, atau menghentikan penyidikan tindak pidana di sektor keuangan.
Namun demikian, secara khusus, ada sejumlah poin yang mempertegas pelaksanaan dua prinsip di atas. Pertama, OJK melakukan penyelidikan berdasarkan informasi atau temuan soal kejahatan keuangan.
Kedua, namun dalam proses penyelidikan tersebut, terduga pelaku kejahatan keuangan bisa mengajukan penyelesaian pelanggaran sesuai ketentuan yang berlaku kepada OJK (ganti rugi). Ketiga, OJK melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran. Penilaian memperhitungkan nilai pelanggaran pemohon.
Keempat, ada tiga aspek yang dinilai OJK dalam melakukan penilaian tersebut. Ketiga aspek itu antara lain ada atau tidaknya penyelesaian kerugian, nilai transaksi atau kerugian dan dampak terhadap sektor jasa keuangan, nasabah, investor, hingga masyarakat.
Kelima, pemohon wajib membayar seluruh ganti rugi sesuai kesepakatan jika OJK menyetujui permohonan penyelesaian pelanggaran. Keenam, OJK menghentikan penyidikan jika ganti rugi sesuai kesepakatan telah disepakati seluruhnya. Ketujuh, ganti rugi adalah hak dari pihak dirugikan bukan bagian dari pendapatan OJK.
Kedelapan, selain ganti rugi OJK juga bisa mengenakan sanksi administratif kepada pihak pelaku kejahatan keuangan. Sanksi yang dimaksud bisa berupa peringatan tertulis, denda, hingga pencabutan izin usaha.
Kesembilan, OJK juga bisa memutuskan untuk melanjutkan penyidikan jika tidak menyetujui permohonan penyelesaian atau karena pihak pemohon ingkar dari kesepakatan.