Bisnis.com, JAKARTA - Imlek tahun 2023 yang jatuh pada Minggu 22 Januari 2023 atau tahun 2574 Kongzili terasa lebih semarak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Imlek tahun sebelumnya diperingati dengan penuh keprihatinan dan keterbatasan karena pandemi.
Sebaliknya tahun ini imlek dirayakan dengan lebih semarak di seluruh penjuru kota, papan iklan, pusat perbelanjaan modern hingga tradisional mengagendakan perayaan imlek baik untuk tujuan komersial maupun non komersial.
Artikel ini diberi judul ‘Imlek Toko Sebelah’ bukan saja semata terinspirasi film bertema pluralisme yang berjudul ‘Cek Toko Sebelah’ tetapi frasa kata ‘Toko Sebelah’ sangat berkaitan erat dengan imlek. Setidaknya ada dua pendekatan sosiologis bahwa imlek sangat berkaitan dengan imlek.
Pertama, pendekatan secara kontemporer (dalam sudut pandang sosiologis saat imlek tahun 2023) dan kedua pendekatan sosiologis secara historikal (imlek dari masa ke masa) khususnya di Indonesia.
Sebenarnya imlek adalah perayaan syukur atas hasil panen dan perayaan menyambut musim semi di China, sehingga yang perlu diluruskan pada banyak masyarakat adalah bahwa imlek bukanlah perayaan agama. Memang secara historikal harus diakui bahwa pada masa orde baru, perayaan imlek sempat dilarang untuk dirayakan serta pada saat itu pemerintah sengaja memberikan pembedaan pada perbedaan yang ada. Misalnya penyebutan istilah ‘pribumi’ dan ‘non pribumi’ dalam berbagai aturan hukum, semisal larangan berdagang di pusat kota bagi warga Tionghoa di beberapa kota.
Contoh lainnya misalnya pada masa orde lama melalui Penetapan Pemerintah No. 2/UM/1946 tentang aturan hari raya, dalam Pasal 4 Penetapan tersebut dijelaskan tentang hari raya khusus untuk etnis Tionghoa, salah satunya hari raya imlek (sehingga pada poin ini meskipun memberikan pengakuan atas eksistensi masyarakat Tionghoa sekaligus memberikan pembedaan).
Baca Juga
Memang sebelum dihapuskan oleh Presiden Abdurahman Wahid kondisi dan aturan tersebut yang sudah berlangsung sejak masa akhir orde lama dan kemudian diteruskan oleh pemerintahan orde baru sehingga secara sosiologis kondisi tersebut terinternalisasi dalam model perilaku masyarakat. Ditambah lagi perlakuan yang cenderung represif pemerintahan orde baru cenderung kontraproduktif bagi diseminasi pemahaman pluralisme bagi masyarakat Indonesia.
Marshall (2015), secara historikal istilah toko sangat dekat dengan masyarakat Tionghoa Indonesia dan bahkan di seluruh dunia, bahkan masyarakat Tionghoa setidaknya dalam satu atau dua garis kekerabatan di atas atau sejajar tentu ditemukan anggota keluarga yang berdagang dan mengelola toko ( namun, saat ini toko bisa saja dimaknai sebagai toko modern). Artinya dalam hal ini dalam pendekatan sosiologis secara historikal tentu nampak jelas perbedaan pola interaksi relasi toko dan pelanggan khususnya menyambut tahun baru imlek.
Pada masa orde baru, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat China, Pemerintah melarang perayaan imlek dilakukan secara terbuka dan pada diktum kedua Inpres tersebut bahwa perayaan imlek hanya boleh dilakukan dalam lingkup keluarga saja. Ironisnya saat itu penentuan tata cara ibadat agama , kepercayaan dan adat istiadat cina diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung.
Pada masa orde baru sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 pada saat tahun baru imlek akan mudah dibedakan toko milik warga keturunan tionghoa dan bukan milik warga keturunan tionghoa (umumnya warga keturunan tionghoa menutup tokonya rapat -rapat karena sedang merayakan imlek dan dilarang mempertunjukkan imlek dimuka umum, sebaliknya toko milik warga yang bukan tionghoa buka sehingga kerusuhan tahun 1998 dengan mudah menempatkan warga Tionghoa sebagai korban). Kondisi pembedaan ini sangat kontraproduktif pada makna Bhineka Tunggal Ika yang dimiliki bangsa Indonesia itu sendiri.
Amy Freedman dan Franklin (2016), menyimpulkan bahwa kebencian terhadap identitas etnis tionghoa yang merusak persatuan dan identitas keberagaman bangsa merupakan hasil politik pecah-belah orde baru yang menggunakan teori lama kolonial. Di dalam laporan penelitian oleh Amy Freedman yang berjudul Political Institution and Etnic Chinesse in Indonesia , disebutkan bahwa orde baru memaksa masyarakat tionghoa untuk melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka bukan pribumi.
Puncak represi terhadap perayaan imlek di Indonesia terjadi pada tahun 1993 melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Bimas Hindu dan Budha No. H/BA.00/29/1/1993 menyatakan larangan merayakan imlek di Vihara dan Cetya dan Surat Edaran No. 07/DPP-WALUBI/KU/93 yang menyatakan bahwa imlek bukan hari besar agama sehingga Vihara Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru imlek dengan menggotong toapekong dan mengadakan acara barongsai. Pada kondisi demikian maka toko selain menjadi tempat berdagang juga menjadi tempat utama perayaan imlek bagi warga masyarakat tionghoa pada masa orde baru.
Jika toko pada pemahaman historikal selain menjadi tempat berdagang juga menjadi tempat merayakan imlek dari generasi ke generasi, maka saat ini secara kontemporer frasa kata ‘toko sebelah’ pada konteks perayaan imlek dapat dimaknai sebagai sebagai bentuk perubahan relasi antar warga masyarakat tanpa membedakan asal-usul mengingat buka dan tutupnya toko tidak didasari pada hari raya imlek. Bahkan kini imlek dapat dirayakan secara terbuka, demikian pula kini imlek bukan lagi hanya identik dengan warga tionghoa tetapi imlek juga menjadi bagian dari kemeriahan Bersama.
Kini seluruh komponen bangsa bisa merayakan imlek sebagai bagian dari agenda nasional yang dimiliki Bersama. Demikian pula secara kontekstual bahwa imlek tahun ini dilambangkan sebagai bentuk kemeriahan bersama setelah tahun sebelumnya perayaan imlek dilaksanakan dalam kondisi toko yang kembali tutup karena pandemi, maka kini pemaknaan toko sebelah secara sosiologis (kontemporer) dimaknai sebagai bentuk kemeriahan bersama karena seluruh kegiatan telah berlangsung dengan normal.
Kemeriahan imlek tahun 2023 juga seiring berakhirnya kebijakan PPKM sehingga semua toko bisa kembali buka. Perayaan imlek sebagai satu agenda nasional yang bisa dirayakan oleh seluruh komponen diharapkan semakin meneguhkan soliditas dan kebhinekaan bangsa Indonesia. Secara kontemporer dalam hal ini toko menjadi sarana diseminasi dalam meneguhkan identitas kebhinekaan bangsa Indonesia melalui meriahnya perayaan imlek yang terbuka, jadi pemaknaan frasa ‘ toko sebelah’ dalam konteks kontemporer adalah semua meriah merayakan imlek sebagai bagian dari identitas nasional.