Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

J Satrijo Tanudjojo

CEO Global Tanoto Foundation

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Menavigasi Kapsul Masa Depan Indonesia

Rset Goldman Sachs pada Desember 2022 menyebut pada 2050 akan menjadi momentum bergesernya pendulum kekuatan ekonomi global dari barat ke timur.
Stunting/istimewa
Stunting/istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Apa yang akan terjadi pada masa depan? Seperti apa Indonesia dalam beberapa dekade mendatang? Di tengah situasi global yang penuh gejolak dan ketidakpastian (volatility and uncertainty), memprediksi masa depan kian sulit

Karena itu, saya sepakat dengan pemikiran bahwa cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan menciptakan masa depan itu. Kabar baiknya, angin optimisme atas masa depan Indonesia sudah dihembuskan oleh berbagai institusi global.

Yang terbaru, riset Goldman Sachs pada Desember 2022 menyebut pada 2050 akan menjadi momentum bergesernya pendulum kekuatan ekonomi global dari barat ke timur. Pada tahun itu, Asia akan mendominasi puncak perekonomian dunia. Tiongkok akan menggeser Amerika Serikat yang suah puluhan tahun ada di peringkat 1 dunia. India akan menguasai peringkat 3.

Kabar gembiranya, peringkat ke-4 akan diduduki Indonesia. Ya, Indonesia yang pada 2021 masih ada di posisi ke-16, diproyeksi akan terus merangsek ke posisi ke-4 raksasa ekonomi dunia. Proyeksi ini sejalan dengan riset PricewaterhouseCoopers (PwC) dan The Economist Intelligence Unit (EIU).

Angin sejuk kadang membuat kita terlelap. Karena itu, optimisme institusi global tak sepatutnya membuat Indonesia terlena. Sebab, proyeksi ekonomi disusun atas berbagai asumsi yang saling berkait kelindan. Namun, kata kuncinya satu, daya saing.

Pasar domestik dengan 270 juta penduduk memang prospektif. Demikian pula sumber daya alam yang melimpah. Namun, itu saja belum cukup untuk menjadi pilar daya saing. Indonesia perlu pilar yang paling signifikan. Apa itu? Kekuatan modal manusia atau human capital. Di dalam pilar penting ini, pendidikan menjadi kerangkanya.

Dari sini, kita perlu menengok indikator Indeks Modal Manusia (Human Capital Index). Harus diakui, Indonesia masih tertinggal. Di Kawasan ASEAN, dengan poin 0,54, Indonesia ada di bawah Singapura yang menduduki peringkat satu dunia, serta di bawah Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.

Pada era disrupsi, ketika teknologi disebut-sebut sebagai mesin utama kemajuan ekonomi suatu bangsa, maka manusia adalah bahan bakarnya. Tanpa bahan bakar yang berkualitas, mesin kemajuan itu tak akan bisa mengeluarkan daya ungkitnya secara optimal.

Di sini, kita tidak hanya bicara tentang kualitas pendidikan tinggi maupun vokasi untuk melahirkan lulusan yang berdaya saing di dunia kerja. Sebab, pendidikan adalah proses berkelanjutan yang dipengaruhi banyak faktor.

Apalagi, pada era yang disruptif dan tantangan kerja yang makin kompleks, seseorang tidak hanya dituntut memiliki hard skill, tapi juga soft skill seperti kecerdasan emosional, penyelesaian masalah, kemampuan adaptif, berpikir kritis, kepemimpinan, hingga kemampuan komunikasi.

Semua itu tidak bisa didapat di pendidikan tinggi maupun menengah saja, tapi harus dibangun fondasinya sejak dini, bahkan sejak masih di dalam kandungan. Di sinilah, isu stunting berperan sangat penting.

Satu hal yang harus dicermati, faktor krusial pemicu stunting di Indonesia bukan karena ketidakmampuan ekonomi yang menyebabkan kurangnya asupan gizi, tapi lebih karena tingkat kesadaran (awareness) tentang stunting dan pencegahannya yang masih kurang. Inilah alasan Tanoto Foundation mendorong intervensi perbaikan kualitas kesehatan dan pendidikan sejak usia dini, kemudian berkembang di fase pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.

KOLABORASI FILANTROPI

Membangun sumber daya manusia butuh horizon panjang dan spektrum luas. Jangkauan tangan pemerintah pasti terbatas, karena itu butuh kolaborasi dan peran aktif dari berbagai pemangku kepentingan.

Salah satu inisiasi yang layak dijajaki adalah kolaborasi filantropi. Predikat Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia menjadi modal berharga untuk mengoptimalkan potensi filantropi dalam mendorong pengembangan sumber daya manusia.

Oktober 2022 lalu, Tanoto Foundation bersama beberapa lembaga filantropi dari Asia dan global serta The World Economic Forum (WEF) meluncurkan inisiatif Philanthropy Asia Alliance. Aliansi ini dibangun untuk mendorong dampak berkelanjutan serta perbaikan dan pemerataan akses kesehatan dan pendidikan yang berkualitas di Asia.

Inisiatif kolaborasi filantropi semacam ini perlu diperkuat di Indonesia. Institusi pemerintah bisa berperan sebagai orkestrator agar kepakan aktivitas organisasi filantropi di Indonesia dapat bergerak harmonis.

Kolaborasi dan kontribusi aktif berbagai pihak ini akan menjadi benih transformasi sektor pendidikan dan kesehatan yang hasilnya akan dipanen dalam beberapa dekade mendatang. Ini sekaligus menjadi ikhtiar bersama, untuk menavigasi kapsul masa depan Indonesia, agar tetap meluncur di jalur yang tepat dan sukses membawa Indonesia melesat ke jajaran raksasa ekonomi dunia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper