Bisnis.com, JAKARTA - Pakar hukum menungkap sejumlah kesalahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) No.20/2022 tentang Cipta Kerja.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai langkah tersebut menunjukkan pola pikir yang pro-pengusaha. Bivitri kemudian menjelaskan dua kesalahan Jokowi dalam menerbitkan Perppu Cipta Kerja, dari sisi hukum.
"Ini menggambarkan pola pikir yang benar-benar pro pengusaha dengan menabrak hal-hal prinsipil. Paling tidak dari segi hukum ada dua kesalahan," kata Bivitri saat dihubungi Bisnis, Jumat (30/12/2022).
Pertama, papar Bivitri, Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU Cipta Kerja itu Inkonstitusional bersyarat untuk dua tahun. Artinya, lanjut Bivitri, UU Cipta Kerja tidak bisa dilaksanakan, dan tidak punya daya ikat.
Menurut dia penerbitan Perppu ini justru menunjukan pemerintah yang mengabaikan putusan MK tersebut dan justru melaksanakan terus UU Cipta Kerja itu.
Kedua, lanjut Bivitri, tak ada urgensi untuk menerbitkan Perppu tersebut. Pemerintah menyebut alasan pemerintah memakai dalil “hal ihwal kegentingan memaksa” seperti pasal 22 UUD 1945 dan juga Putusan MK 139/2009 tidak pas.
Baca Juga
"Jelas-jelas saat ini hanya sedang liburan akhir tahun dan masa reses DPR, tidak ada kegentingan memaksa yang membuat presiden berhak mengeluarkan Perppu," kata Bivitri.
Menurut dia, penerbitan Perppu ini semakin menunjukkan keinginan Jokowi untuk mengambil jalan pintas agar keputusan politik pro pengusaha ini cepat keluar.
"Menghindari pembahasan politik dan kegaduhan publik. Ini langkah culas dalam demokrasi. Pemerintah benar-benar membajak demokrasi," kata Bivitri.
Menurut Bivitri DPR pada masa sidang setelah reses harus membahas dan menolak penerbitan Perppu tersebut.
"Menurut UUD dan UU Pembentukan peraturan per-UU-an, DPR nanti pada masa sidang pertama setelah ini, harus membahasnya dan bisa menolak. Tidak harus menerima," katanya.