Bisnis.com, JAKARTA — Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyampaikan permohonan maaf atas tindakan perbudakan yang dilakukan oleh Belanda selama ratusan tahun lamanya.
Permintaan maaf itu ditujukan Rutte kepada semua orang yang diperbudak dan yang menderita akibat tindakan itu, kepada putri dan putra, termasuk semua keturunan korban perbudakan Belanda pada masa lalu hingga saat ini.
Kendati demikian, dalam permintaan maaf yang disampaikan oleh Rutte di Arsip Nasional di Den Haag, PM Belanda itu tidak sekalipun menyebutkan nama Indonesia sebagai salah satu negara jajahannya.
Rutte hanya menyinggung soal perdagangan budak yang dijalankan di bawah otoritas Perusahaan Hindia Timur Belanda atau VOC.
Lantas, mengapa Belanda memutuskan untuk tak meminta maaf secara spesifik ke Indonesia?
Menurut Sejarawan Indonesia Bonnie Triyana, hal ini terjadi karena praktik perbudakan tidak lagi melekat secara mendalam ke kehidupan yang saat ini dijalankan oleh masyarakat Indonesia.
“Ada problem generasional dan pengetahuan publik yang menyebabkan kita tidak punya pengetahuan kolektif mengenai perbudakan,” terang Budi kepada Bisnis, Selasa (20/12/2022).
Baca Juga
Masalah generasional, ujar Bennie, terjadi karena praktik perbudakan yang dilakukan oleh Belanda sudah terlalu lampau sehingga akhirnya sedikit masyarakat yang masih memilih untuk mewariskan secara tradisional pengetahuan mereka mengenai praktiK perbudakan di Indonesia.
“Di Indonesia itu saya bilang karena sudah terlalu jauh, sekitar 4-5 generasi sebelum kita, sehingga pengetahuan tentang masalah perbudakan itu tidak banyak diwariskan ke kita,” ujar Bonnie.
Selain itu, praktik perbudakan yang berlaku di Indonesia saat itu juga tidak pernah dijelaskan secara mendetail dalam pendidikan formal yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.
Menurut Bonnie, hanya sebagian kecil saja pengetahuan mengenai praktik perbudakan yang terjadi di Indonesia yang akhirnya diajarkan kepada para peserta didik. Berbeda dengan beberapa negara lainnya yang secara konstan menurunkan pengetahuan mengenai praktik perbudakan serta memiliki memori yang kuat mengenai hal tersebut.
“Kita tidak pernah belajar tentang sistem perbudakan, bagaimana sistem itu dilakukan, siapa saja yang jadi budaknya. Kita tidak punya pengetahuan itu sehingga merasa perbudakan bukan menjadi bagian dari kita padahal dia exist,” jelas Bonnie.