Bisnis.com, JAKARTA - Lebih dari 70 jaringan dan organisasi yang mewakili petani, nelayan, peternak, dan petani hutan seluruh dunia menyuarakan pentingnya pendanaan adaptasi krisis iklim.
Hal ini seiring terlaksananya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB 2022 (COP 27) yang dihadiri para pemimpin dunia, di Sharm El-Sheikh, Mesir pada 6-18 November 2022.
Para petani dan produsen pangan dunia memperingatkan ketahanan pangan global menjadi sangat rentan di era krisis iklim, sehingga membutuhkan pendanaan adaptasi bagi produsen pertanian skala kecil berbasiskan perencanaan yang beragam dan mempertimbangkan kondisi lokal.
Mewakili 350 juta keluarga petani dan produsen pangan dunia, muncul surat terbuka yang ditandatangani jaringan dan organisasi, mencakup Forum Desa Dunia yang mewakili 35 juta keluarga petani di lima benua dan Aliansi untuk Kedaulatan Pangan di Afrika yang mewakili 200 juta produsen skala kecil di benua.
Ada juga Asosiasi Petani Asia untuk Pembangunan Berkelanjutan dengan 13 juta anggota, Koordinator Pemimpin Teritorial Wanita Mesoamerika di Amerika Latin, serta organisasi nasional terkait dari Yordania, hingga Inggris sampai India.
Dalam surat terbuka tersebut, petani memperingatkan bahwa sistem pangan global saat ini tidak mumpuni dalam menghadapi dampak perubahan iklim, sekali pun dunia dapat menahan kenaikan pemanasan global di bawah 1,5 derajat celcius.
Baca Juga
Presiden Federasi Petani Afrika Timur Elizabeth Nsimadala pun berharap COP 27 seharusnya juga memprioritaskan pembangunan sistem pangan di tengah situasi suhu dunia yang semakin panas.
Pasalnya, sebagai wadah perwakilan 25 juta produsen makanan di Afrika Timur, Elizabeth menekankan bahwa produsen dalam jaringannya memberi makan jutaan orang, serta mendukung ratusan ribu pekerjaan.
"Tetapi mereka telah mencapai titik puncaknya. Perlu ada dorongan besar-besaran dalam pendanaan iklim untuk memastikan produsen skala kecil memiliki informasi, sumber daya, dan pelatihan yang diperlukan untuk dapat terus memberi makan dunia bagi generasi mendatang," ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (7/11/2022).
Selain petani, peran produsen skala kecil tak kalah penting untuk ketahanan pangan global, terlebih dengan produksi sebanyak 80 persen dari makanan yang dikonsumsi di kawasan seperti Asia dan Afrika Sub-Sahara.
Namun, kenyataannya negara-negara kaya hanya menyumbang 1,7 persen dari aliran pendanaan iklim di 2018, hanya US$10 miliar atau senilai dengan Rp157 triliun, dibandingkan dengan yang diestimasikan, yakni US$240 miliar per tahun atau Rp3.773 triliun yang dibutuhkan untuk membantu mereka beradaptasi dengan perubahan iklim.
Mencapai suatu komitmen pendanaan merupakan kunci sukses di COP 27. Pada KTT iklim Glasgow pada tahun 2021, negara-negara makmur telah setuju untuk menggandakan pendanaan keseluruhan untuk adaptasi iklim menjadi Rp628 triliun per tahun pada tahun 2025. Namun, angka tersebut pun masih hanya sebagian kecil dari yang dibutuhkan.
Sebab, COP 27 tahun ini berlangsung di tengah krisis harga pangan global. Meskipun belum ada kekurangan pangan global, dengan terjadinya kekeringan ekstrem, banjir, dan gelombang panas yang telah merusak panen di seluruh dunia, para ilmuwan telah memperingatkan peningkatan risiko kegagalan panen serentak di lumbung pangan utama dunia.
Panel antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengatakan bahwa pergeseran ke sistem pangan dengan produk pertanian rendah yang lebih beragam adalah kunci untuk menjaga ketahanan pangan dalam perubahan iklim.
Adapun, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Asia untuk Pembangunan Pedesaan Berkelanjutan Ma Estrella Penunia yang mewakili 13 juta petani di seluruh Asia juga mencermati soal subsidi buat industri pertanian yang kurang sesuai.
Sebanyak US$611 miliar atau sekitar Rp9.607 triliun dihabiskan untuk mensubsidi produksi pangan setiap tahun yang sebagian besar untuk industri pertanian yang mengandalkan bahan kimia, yang notabene berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
"Ini tidak dapat dilanjutkan. Para pemimpin harus mendengarkan para petani dan menempatkan masalah politik dan ekonomi mereka dan bergeser pada masalah produksi pangan yang lebih beragam, berkelanjutan, dan memberdayakan, terutama pertanian agroekologi, perikanan, kehutanan, dan peternakan," ujar Penunia.
Dia menambahkan pangan dan pertanian sebagian besar diabaikan dalam negosiasi iklim meskipun bertanggung jawab atas 34 persen emisi dunia, yang sebagian besar berasal dari industri pertanian.
Penunia bersama para petani dan produsen pangan dunia yang menandatangani surat terbuka ini juga menyerukan kepada pemerintah untuk bekerja sama dengan mereka untuk membangun sistem pangan yang lebih kuat, lebih berkelanjutan, dan lebih adil.
Senada, Direktur Forum Pedesaan Dunia Laura Lorenzo mengatakan makanan dan pertanian telah dikesampingkan dalam negosiasi iklim selama ini, dan kekhawatiran produsen kecil pun diabaikan.
"Keluarga petani skala kecil membutuhkan ruang dialog agar dapat menyampaikan suaranya dalam keputusan yang memengaruhi jika ingin membangun kembali sistem pangan yang rusak," ungkapnya.