Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara gamblang melakukan upaya mendegradasi nilai independensi dan praktik intervensi politik terhadap Mahkamah Konstitusi.
Dikutip melalui halaman resmi ICW, sebagai lembaga legislative, DPR dinilai secara serampangan memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto tanpa basis argumentasi yang utuh.
Bahkan, disebutkan bahwa dalam waktu bersamaan, anggota dewan juga sepakat memilih Sekretaris Jenderal MK, Guntur Hamzah, untuk mengganti posisi Aswanto sebagai hakim konstitusi mendatang.
“Langkah DPR terhadap MK ini makin memperlihatkan sikap otoritarianisme dan pembangkangan hukum,” tulis ICW dalam rilis tersebut, Selasa (4/10/2022).
Tidak hanya itu, ICW pun mengidentifikasi adanya enam poin kekeliruan DPR saat merombak komposisi majelis hakim konstitusi. Pertama, lembaga legislatif itu keliru saat menafsirkan surat dari Ketua MK.
Dijelaskan bahwa surat yang dikirimkan oleh MK kepada Ketua DPR RI itu substansinya terbatas pada konfirmasi atau sekadar pemberitahuan dampak Putusan Nomor 96/PUU-XIII/2020.
Baca Juga
Adapun, putusan itu mengubah periodisasi jabatan hakim MK, yakni, tidak lagi merujuk pada siklus lima tahunan, melainkan merujuk pada pembatasan usia.
“Alih-alih memahaminya, DPR justru berakrobat dengan memanfaatkan surat itu sebagai dasar memberhentikan hakim konstitutsi,” tulis ICW.
Kedua, ICW menilai DPR menabrak ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menjamin eksistensi kemerdekaan lembaga kekuasaan kehakiman.
Ketiga, kesimpulan untuk memberhentikan Aswanto menunjukkan DPR ahistoris dengan produk UU yang dihasilkan sendiri, sebab mekanisme ganjil tersebut diyakini bertolak belakang dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK (UU MK).
“Dalam konteks regulasi itu, secara materiil Aswanto tidak sedang diberhentikan dengan atau tidak hormat. Sedangkan runtut formilnya juga bermasalah karena tanpa melalui mekanisme yang benar, yakni, pengiriman surat dari Ketua MK kepada Presiden untuk selanjutnya diterbitkan Keputusan Presiden pemberhentian hakim konstitusi,” lanjut ICW.
Keempat, disebutkan bahwa keputusan DPR ini kental dengan nuansa politik terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Penyebabnya, merujuk pada pernyataan Ketua Komisi III DPR RI sekaligus politisi asal PDIP, Bambang Wuryanto, alasan pemberhentian Aswanto karena hakim konstitusi itu menganulir UU yang dikerjakan oleh DPR.
ICW menegaskan bahwa penting untuk ditekankan, Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sudah sangat tegas mengatakan bahwa hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
Alhasil, dalam kerangka aturan itu tidak ada kewajiban bagi hakim MK untuk menuruti atau membenarkan semua produk perundang-undangan, baik yang diinisiasi oleh pemerintah maupun DPR.
“Lagipun belakangan waktu terakhir UU yang dikerjakan oleh dua entitas cabang kekuasaan itu memang banyak menuai persoalan, mulai dari Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, Omnibus Law UU Cipta Kerja, hingga Revisi UU Mahkamah Konstitusi,” tuturnya.
Selain itu, ICW melanjutkan bahwa anggapan Bambang yang mengatakan bahwa Aswanto merupakan wakil DPR juga keliru, apalagi berdasar pasal 18 ayat (1) UU MK mengatakan bahwa keberadaan DPR dalam konteks pemilihan hakim konstitusi hanya bersifat mengajukan, bukan berasal dari anggota DPR.
Kelima, dinilai dasar pemikiran legislatif saat memberhentikan Aswanto bermuatan konflik kepentingan dan seperti ingin menundukkan mahkamah. Dengan alasan Bambang yang menyebutkan bahwa Aswanto menganulir produk legislasi DPR, berarti Ketua Komisi III itu memiliki kepentingan dalam proses pemilihan hakim konstitusi.
Keenam, praktik pembangkangan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana tampak dilakukan oleh DPR dapat menjadi preseden buruk terhadap masa depan MK.
“Langkah lembaga legislatif ini bukan tidak mungkin ditiru oleh cabang kekuasaan lainnya yang menjadi pengusul hakim konstitusi, seperti Presiden atau Mahkamah Agung,” ujar ICW.
ICW pun khawatir apabila ke depan MK hanya akan menjadi lembaga yang memenuhi kepentingan politik penguasa, bahkan akibat terburuknya, legislasi-legislasi bermasalah yang kerap diinisiasi oleh pemerintah maupun DPR akan mendapatkan cap legitimasi oleh MK.
“Bukan tidak mungkin ini merupakan siasat partai-partai tertentu guna mengamankan konsolidasi politik, terutama dalam kaitan dengan produk legislasi atau bahkan kewenangan MK lain seperti memutus perselisihan hasil pemilihan umum,” tutur ICW.