Bisnis.com, JAKARTA -- Lin Che Wei dan petinggi Wilmar Group Master Parulian Tumanggor membantah dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus korupsi perizinan ekspor crude palm oil atau CPO atau kasus mafia minyak goreng.
Sekadar informasi dalam dakwaan kasus mafia minyak goreng, jaksa penuntut umum mendakwa Lin Che Wei Cs telah merugikan negara Rp18,3 triliun.
Penasihat Hukum Lin Che Wei, Maqdir Ismail, misalnya, menyebut penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan kepada masyarakat penerima manfaat sebesar Rp6 triliun tidak dapat dikatakan scbagai kerugian keuangan Negara.
"Adanya Penyaluran BLT ini adalah kebijakan pemerintah yang merupakan kewajiban dari pemerintah, ketika melihat dan merasakan adanya kesulitan yang dialami oleh masyarakat," kata Maqdir dalam ekspsi yang dibacakan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (6/9/2022).
Maqdir juga mempertanyakan soal perhitungan kerugian perekonomian negara Rp12,3 triliun. Dia menuturkan perhitungan itu tidak tepat, apabila cara penghitungan kerugian perekenomian negara dilakukan seolah-olah Ekspor CPO beserta turunannya sama dengan penjualan produk terlarang untuk diperdagangkan.
"Metode penghitungan kerugian negara yang didakwakan dalam perkara ini adalah adanya beban kerugian yang ditanggung oleh pemerintah dengan diterbitkannya PE atas perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Wilmar,Grup Permata Hijau, dan Grup Musim Mas adalah metode yang keliru," kata Maqdir.
Baca Juga
Dalam eksepsinya, Maqdir mengklaim, dakwaan terhadap kliennya menggunakan Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor melawan hukum.
Hal itu, kata Maqdir, karena Lin Che Wei tidak menerima atau mendapatkan uang dalam memberikan bantuan kepada Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi.
"Tidak ada fakta bahwa ada barang yang diperoleh oleh Terdakwa Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei karena telah membantu Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Tidak ada harta atau kekayaan yang dia terima, tetapi adalah nama buruk, karena didakwa melakukan korupsi dan diduga melanggar Pasal 2 ayat(1) atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor," klaim Maqdir.
Wilmar Dirugikan
Sementara itu, Penasihat Hukum Master Parulian Tumanggor (MPT), Juniver Girsang mengklaim, PT Wilmar Nabati Indonesia mengalami kerugian lebih dari Rp1,5 triliun terkait dengan kebijakan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
“Dengan diterbitkannya kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) ini, kami mengalami kerugian kurang lebih dari Rp1,5 triliun,” kata Juniver, di Pengadilan Tipikor DKI, Selasa (6/9/2022).
Juniver mengungkapkan PT Wilmar Nabati Indonesia memiliki waktu enam bulan untuk memenuhi kewajiban DMO 20 persen Dari total DMO yang diwajibkan ke Wilmar Nabati Indonesia sebanyak 234.722.699 kilogram.
“Kekurangan itu dipenuhilah secara bertahap dalam rentang waktu enam bulan masa berlaku persetujuan ekspor,” ungkap Juniver.
Dia mengklaim Wilmar Nabati Indonesia merupakan korban kebijakan dan program penyediaan minyak goreng kemasan sederhana untuk masyarakat dalam rangka pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Menurut dia, Wilmar Nabati Indonesia mengalami kerugian karena mengikuti harga jual sesuai DMO yang telah ditetapkan sebagai syarat memperoleh persetujuan ekspor CPO dari Kementerian Perdagangan.
“Justru Wilmar grup yang menderita kerugian dan menjadi korban inkonsekuensi kebijakan dan program Kementerian Perdagangan yaitu program penyediaan minyak goreng kemasan sederhana untuk kebutuhan masyarakat dalam rangka pembiayaan oleh BPDPKS dan program pemenuhan DMO ,” kata Juniver.
Dia juga mengklaim Wilmar telah mematuhi seluruh aturan yang dibuat pemerintah guna mendapat persetujuan ekspor.
“Karena DMO yang sudah kami lakukan itu sudah sesuai, kemudian mau ditindaklanjuti timbul peraturan baru yang merubah peraturan yang belum dilaksanakan,” kata dia.