Bisnis.com, JAKARTA -- Farel Prayoga mencairkan suasana peringatan hari kemerdekaan dengan tembang 'Ojo Dibandingke''. Banyak orang terhibur. Tetapi ada juga yang sewot. Umumnya yang sewot merasa aksi penyanyi cilik asal Banyuwangi itu merusak kesakralan Istana.
Istana Negara memang kadung dianggap sakral bagi sebagian atau mungkin mayoritas orang Indonesia. Ini wajar karena selama 42 tahun, 32 tahun Soeharto dan 10 tahun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), istana dipimpin orang yang berlatar belakang militer.
Militer lekat dengan keteraturan. Segala sesuatu mesti terencana, sistematis dan taktis. Belum lagi kultur 'hormat' antara bawahan dengan atasan atau senior dengan yunior. Pokoknya mereka serba diatur dan harus teratur.
Saat Presiden Soeharto berkuasa, misalnya, istana seperti tempat angker. Rakyat tidak boleh sembarangan mendekat ke istana. Pakaian harus rapi. Bertato dilarang. Rambut tidak boleh menyentuh kuping, gondrong dilarang.
Apalagi, Soeharto adalah tipikal pemimpin yang memegang teguh nilai-nilai Jawa. Sudah berlatar belakang militer, penganut nilai-nilai Jawa yang taat pula. Lengkap sudah. Istana bagaikan keraton zaman kerajaan pada masa lampau. Serba formal.
Zaman SBY kendati perlahan mulai berubah, pola komunikasi juga mulai cair, namun watak militeristik-nya tak sepenuhnya hilang. Protokoler istana masih sangat ketat.
Baca Juga
Hal inilah yang membedakan mereka dengan presiden dari kalangan sipil. Pemimpin sipil cenderung santai. Cair dan sering menabrak tradisi. Yang sakral menjadi tidak sakral.
Pelopor desakralisasi istana, dalam konteks sejarah pasca Orde Baru, tentu the one and only, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Khalayak tentu masih ingat ketika Gus Dur dilengserkan pada 2001 silam. Syahdan, ribuan pendukung Gus Dur tiba di Jakarta. Mereka datang dari berbagai macam latar belakang dan penjuru tanah air.
Pasukan berani mati, istilah yang populer pada waktu itu, benar-benar siap mati demi Gus Dur tetap jadi presiden. Mereka dibekali ilmu kanuragan, aneka senjata tajam dan sebagian bahkan sudah berkumpul di depan istana negara. Ngeri, perang saudara hampir saja tumpah di jalanan ibu kota.
Namun apa yang terjadi pada waktu itu. Gus Dur muncul didampingi orang orang terdekatnya. Dia menanggalkan pakaian formalnya. Keluar istana mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Gus Dur kemudian melambaikan tangan ke arah pendukungnya.
Seolah tidak terjadi apa-apa!
Padahal situasi politik saat itu panas. Gesekan antar golongan juga masih terjadi di berbagai daerah. Gus Dur, tokoh yang sedang digulingkan, malah dengan santainya pakai kaos oblong dan celana pendek, di istana yang selama Orde Baru sangat 'angker' dan wingit.
"La ya itu supaya saya tidak dianggap presiden. Orang dingin hatinya tidak menjadi marah," begitu jawaban santai Gus Dur dalam tayangan Kick Andy yang dipandu wartawan senior, Andy Noya.
Gus Dur, memang memiliki pola komunikasi politik yang sangat unik. Out of the box kalau istilah anak muda zaman sekarang. Gus Dur sangat humoris, bahkan ketika detik-detik terakhir di istana dia sempat membuat publik terbelalak.
Rupanya pola komunikasi santai ala Gus Dur ini dilanjutkan oleh Jokowi. Bedanya, Jokowi memang tidak seluwes Gus Dur dalam berkomunikasi. Jarang mengeluarkan humor. Namun secara gestur, Jokowi sangat mengerti apa yang diinginkan oleh rakyat.
Jokowi mengubah peringatan hari kemerdekaan menjadi pesta rakyat. Penuh warna-warni, pakaian adat, dan tentu saja hiburan. Salah satu hiburan yang menjadi perhatian khalayak ya penyanyi Farel Prayoga. Dia berhasil menggoyang 'kesakralan' istana dan para menterinya, termasuk Prabowo Subianto, dengan lagu 'Ojo Dibandingke' milik Abah Lala.