Bisnis.com, JAKARTA -- Bung Karno dan Bung Hatta adalah proklamator kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia secara de facto telah merdeka dan siap menjadi negara yang berdaulat.
Kendati demikian, proses pembacaan proklamasi tidak ujug-ujung terjadi. Sehari sebelum proklamasi kemerdekaan dibacakan, para tokoh bangsa terpecah. Ada yang setuju, banyak yang masih ragu-ragu.
****
Syahdan, usai Jepang mulai kalah dalam perang Asia Timur Raya, berbagai lobi dilakukan oleh tokoh politik untuk mewujudkan gagasan Indonesia merdeka.
Ada sejumlah nama yang berperan dalam upaya lobi-lobi tersebut. Paling lazim, tokoh yang populer pada waktu itu adalah Soekarno dan Mohammad Hatta.
Dua orang ini sering disebut bapak bangsa. Peran mereka sangat sentral. Atas nama kedua orang ini pula kemerdekaan Indonesia diumumkan secara luas ke seluruh penjuru dunia.
Baca Juga
"Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta," demikian kalimat penutup teks Proklamasi yang monumental itu.
Tetapi cerita lahirnya proklamasi sejatinya tak sesingkat dan sepadat pembacaan teks tersebut. Proses perumusan teks dipenuhi intrik dan peristiwa yang sangat dinamis.
Ada kisah tentang penculikan, perdebatan tentang kapan proklamasi diumumkan dan pertimbangan-petimbangan lainnya.
Sejarah mencatat, sebelum kemerdekaan diproklamirkan, ada dua kelompok yang saling bertentangan. Para sejarawan kemudian kompak membagi kelompok itu sebagai golongan tua dan golongan pemuda.
Golongan tua dimotori oleh Sukarno-Hatta serta anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Mereka umumnya adalah para elit politik yang bersikap kolaboratif selama pendudukan Jepang yang singkat.
Sementara golongan muda adalah kelompok pemuda yang terdiri dari beragam ideologi. Tokoh yang menonjol di golongan ini antara lain Chaerul Saleh, Sukarni, Jusuf Kunto, termasuk Wikana dan DN Aidit.
Wikana adalah seorang menak Sunda, salah satu tokoh revolusi yang namanya terkubur akibat Peristiwa Madiun 1948. Sementara Aidit, dalam narasi umum sejarah Indonesia dia dicap sebagai pengkhianat pasca peristiwa 1965.
Kedua golongan ini sebenarnya memiliki pandangan yang sama terkait proklamasi. Indonesia harus merdeka. Proklamasi harus segera diumumkan. Hanya caranya agak berbeda.
Golongan tua cenderung menghindari konflik. Mereka tidak konfrontatif. Soekarno dan Hatta, misalnya, lebih menginginkan kemerdekaan diproklamasikan melalui jalur-jalur yang sudah ditentukan salah satunya lewat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI daripada berhadapan langsung dengan Jepang.
Sedangkan golongan muda punya pandangan sebaliknya. Pengumuman kemerdekaan harus cepat dilakukan. Mereka menganggap PPKI adalah lembaga bentukan Jepang.
****
Ada kisah menarik tentang PPKI sebelum konflik antara dua kubu itu mencuat. Kisah ini ditulis oleh ST Sularto dalam artikel Merdeka Sebelum Jagung Berbunga.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 sekitar pukul 16.00 WIB, Sutan Syahrir datang ke rumah Bung Hatta. Selain membawa kabar soal kekalahan Jepang, Syahrir juga menanyakan hasil pertemuan Bung Karno dan Hatta Cs dengan Jenderal Terauchi.
Jenderal Terauchi adalah Panglima Tertinggi Jepang di Asia Tenggara. Pada tanggal 9 Agustus dia mengundang Sukarno Cs untuk bertandang ke Dalat, Vietnam. Pertemuan itu terkait dengan pemberian kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.
Hatta sendiri menjawab dengan lugas pertanyaan Syahrir. “Tergantung dari kita sendiri,” kata Hatta waktu itu.
Syahrir segera menyergah pernyataan Hatta, menurutnya sebaiknya pengumuman kemerdekaan Indonesia jangan diserahkan kepada PPKI, karena ada kesan bahwa PPKI adalah bikinan Jepang.
Pernyataan Syahrir itu sejalan dengan pola pikir pemuda yang tergabung dalam kelompok Menteng 31.
Kelak, hubungan panas dingin golongan tua-muda itu mencapai titik klimaks ketika peristiwa Rengasdengklok berlangsung. Penculikan tokoh golongan tua, yakni Soekarno dan Hatta, pada 16 Agustus 1945. Tepat 77 tahun lalu atau sehari sebelum proklamasi dibacakan.