Bisnis.com, JAKARTA -- Selain Mustafa Kemal Pasha dan Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo adalah sosok yang memengaruhi Soekarno. Perkenalan dengan tokoh pergerakan ini kelak memantapkan jalan bagi 'nasionalisme' Bung Karno.
Tjipto Mangunkusumo lahir dari sebuah keluarga di kawasan berkultur pesisir di Kecamatan Pecangaan, Jepara pada tahun 1886. Meski dari berasal dari kalangan bumiputra, Tjipto sangat beruntung karena bisa mengenyam pendidikan hingga ke Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA.
Masa muda Tjipto dihabiskan untuk berkonfrontasi. Siapapun dia lawan. Elite kolonial atau Bumiputera yang dianggap tidak sejalan dengannya, dia kritik habis-habisan. Termasuk, para elite Budi Utomo, yang mayoritas atau hampir semua berasal dari kalangan priyayi.
Budi Utomo adalah gerakan intelektual. Namun anggotanya hanya terbatas dari kalangan priyayi Jawa – Madura. Identifikasi Budi Utomo dan identitas kejawaan itu semakin kentara karena nilai-nilai yang diperjuangkan adalah kemajuan elite Jawa. Nasionalisme Jawa bukan Hindia (Indonesia).
Imbasnya, organisasi ini kurang progresif. Kelak, eksklusifitas Budi Utomo menimbulkan persoalan. Organisasi ini tak pernah memiliki basis massa yang kuat. Jauh dari rakyat, dan lebih mirip gerakan moral para aristokrat Jawa.
Sebagian anggota Budi Utomo resah dengan kondisi tersebut. Tjipto Mangunkusumo salah satunya. Pada Oktober 1908, dalam pelaksanaan Kongres yang pertama di Yogyakarta, Tjipto mengungkapkan unek-uneknya.
Baca Juga
Dia mengemukakan gagasan yang cukup revolusioner. Tjipto jengah dengan arah gerakan organisasi yang tak jelas juntrungannya. Dia ingin Budi Utomo lebih progresif dan inklusif.
Aktivitas Budi Utomo tak sekadar memperjuangkan nasib kalangan priyayi. Tetapi, rakyat dari semua lapisan.
Tjipto juga mencoba membongkar eksklusifitas Budi Utomo. Dia mengusulkan supaya Budi Utomo menjadi partai politik dan kegiatannya tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Hanya, langkah progresif Tjipto tersebut kurang mendapat respons positif. Gerakan Budi Utomo, yang lahir dari kalangan priyayi dan dokter-dokter Jawa tersebut, tetap saja lamban.
Dia bahkan terlibat perang urat syaraf dengan elite Budi Utomo lainnya, Radjiman Wedyodiningrat. Radjiman adalah pengagum supremasi Jawa. Dia ingin Budi Utomo hanya untuk bangsa Jawa. Jawa untuk Jawa, seperti tujuan awal dari Budi Utomo dahulu.
Karena watak ‘priyayi’-nya yang cukup kuat, Budi Utomo kerap disorot karena lebih merespons kepentingan Belanda daripada kepentingan rakyat bumiputera. Alhasil, Tjipto yang notabene seorang yang bercorak politik radikal terpental. Dia kemudian memutuskan hengkang dari Budi Utomo.
“Tjipto Mangunkusumo berhenti dari badan pengurus sebelum kongres yang kedua,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia.
Langkah Tjipto itu juga diikuti para pemuda STOVIA lainnya. Golongan minoritas itu kecewa dengan arah organisasi. Mereka kemudian ramai-ramai memutuskan berhenti dari keanggotaan Budi Utomo.
Tjipto selepas dari Budi Utomo, kemudian mendirikan Indische Partij (IP). Organisasi yang lebih revolusioner. IP didirikan oleh tiga tokoh pergerakan pada tahun 1912. Konsep nasionalisme Indische atau Indonesia, sangat jelas dalam gerakan ini dibandingkan dengan Budi Utomo.
Ketiga pendiri IP antara lain Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) dan Tjipto Mangunkusumo yang berlatar belakang STOVIA, serta seorang blasteran Bumiputera-Eropa, Ernest Douwes Dekker.
Lewat IP, Tjipto semakin progresif. Belanda marah dan gerah. Tjipto kemudian diasingkan. Dia diisolasi dari daerah berkultur Jawa. Hingga akhirnya meninggal dalam pengasingan karena penyakit asma.