Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) disarankan untuk lebih cermat terkait dengan rencana pelabelan Bisfenol-A (BPA) pada air minum kemasan guna ulang.
Direktur Indonesia Food Watch, Pri Menix Dey mengatakan, apabila hendak mengimplementasikan pelabelan BPA secara mandatori, seharusnya berlaku pada seluruh produk makanan dan minuman (mamin). Pasalnya, risiko migrasi BPA paling tinggi justru ada pada makanan atau minuman kemasan kaleng, bukan pada kemasan air minum guna ulang berbahan polikarbonat.
"Karena galon polikarbonat bisa menahan risiko migrasi itu. Yang paling tinggi risiko migrasi BPA justru ada pada produk konsumsi kemasan kaleng," kata dia seperti dikutip, Kamis (9/6).
Selain itu, rencana pelabelan BPA hanya pada air minum dalam kemasan galon berbahan polikarbonat menguatkan kecurigaan banyak pihak perihal kuatnya tekanan politik dalam perumusan kebijakan ini. Apalagi perubahan kebijakan dilakukan dengan sangat tertutup.
Pelabelan dengan narasi diskriminatif tersebut telah masuk dalam rancangan revisi peraturan BPOM 31/2018 tentang Label Pangan Olahan yang belum mendapatkan pengesahan. Revisi peraturan BPOM No. 31/2018 tentang Label Pangan Olahan juga hanya fokus untuk pelabelan BPA (narasi negatif) terhadap kemasan galon berbahan Polikarbonat (PC).
Sebaliknya, rencana revisi aturan yang sama mengandung kejanggalan karena untuk produk air kemasan dengan galon sekali pakai berbahan PET dibolehkan menggunakan label bebas BPA (narasi positif).
Baca Juga
Faktanya, galon sekali pakai yang diproduksi segelintir produsen AMDK itu menggunakan bahan Polietilena Tereftalat (PET) yang sama-sama berpotensi tercemar bahan kimia asetaldehida dan etilen glikol dan mikroplastik.
Mengingat tertutupnya pembahasan serta mengingat hanya AMDK berbahan polikarbonat yang menjadi sasaran, Menix mengendus adanya indikasi kepentingan dalam regulasi tersebut.
"Ada apa dengan BPOM? Seharusnya ada keadilan atau regulasi yang berlaku umum dan tidak menyasar sektor tertentu. Tak berlebihan menyimpulkan bahwa BPOM berada dalam tekanan," ujarnya.
Menix menambahkan, berdasarkan kajian ilmiah, potensi migrasi BPA pada galon berbahan polikarbonat berada pada level 80 derajat celcius, sehingga masih memiliki daya tahan untuk menahan risiko tersebut.
Di sisi lain, polikarbonat banyak digunakan sebagai bahan dasar sejumlah perangkat kemasan produk makanan dan minuman kaleng, termasuk botol susu bayi. Bahan ini acap digunakan sebagai pelindung pada bagian dalam kemasan tersebut. "Sangat aneh apabila BPOM hanya mewajibkan pelabelan BPA pada galon air minum," ujarnya.
Sekadar informasi, berdasarkan penelitian The European Food Safety Authority (EFSA) atau Otoritas Keamanan Makanan Eropa, batas aman paparan BPA oleh konsumen adalah 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari.
Ilustrasinya, seseorang dengan berat badan 60 kg masih dalam batas aman jika mengonsumsi BPA 240 mikrogram/hari. Dengan kata lain, sejauh ini risiko paparan BPA pada air minum berkemasan galon sangat rendah.
Menurut Menix, data EFSA tersebut seharusnya bisa dijadikan acuan oleh BPOM dalam menyusun regulasi pelabelan BPA sehingga aturan yang dirilis tidak menimbulkan kesan menyudutkan sektor bisnis tertentu.
"Jadi harus bersikap adil untuk semua sektor. Seandainya ada pelabelan BPA, harus diterapkan pada semua produk yang memiliki risiko, tidak hanya air minum galon," jelasnya.