Bisnis.com, JAKARTA - Polemik mengenai pelabelan bisphenol-A atau BPA pada galon isi ulang berbahan polikarbonat (PC) kian memanas. Inkonsistensi pemangku kebijakan, dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), menjadi penyulut panasnya perdebatan di kalangan masyarakat.
Jika dicermati, pada tahun lalu BPOM menerbitkan dua keterangan resmi tepatnya pada Januari dan Juni yang menegaskan bahwa air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang sepenuhnya aman untuk dikonsumsi.
Jaminan itu diberikan otoritas pengawas obat dan makanan setelah melakukan pengujian laboratorium terhadap air yang dikemas ke dalam galon isi ulang berbahan PC. Dalam uji laboratorium tersebut, BPOM menemukan nilai migrasi BPA dari air kemasan galon jauh di bawah batas maksimal yang ditetapkan, yakni sebesar 0,6 bpj (600 mikrogram/kg).
Artinya, pengujian tersebut memberikan legitimasi bagi air dalam kemasan galon isi ulang aman dikonsumsi, sekaligus mengakhiri perdebatan yang sempat mencuat di masyarakat.
Permasalahannya, pada Oktober 2021 BPOM mengajukan revisi Peraturan BPOM No. 31/2018 tentang Label Pangan Olahan, yang sejatinya telah direvisi pada dua bulan sebelumnya, tepatnya Agustus 2021.
Polemik mulai muncul tatkala dalam draf revisi yang diajukan pada Oktober tahun lalu itu BPOM memuat klausul mengenai kewajibkan AMDK galon guna ulang berbahan PC mencantumkan label ‘berpotensi mengandung BPA’ pada kemasannya.
Baca Juga
Sebaliknya, galon sekali pakai berbahan polietilene (PET) diperkenankan mencantumkan cap ‘bebas BPA’. Perubahan inilah yang kemudian memunculkan kesan BPOM tidak konsisten dan terjebak dalam persaingan bisnis.
Seharusnya, selaku pemangku kebijakan BPOM bertindak lebih arif dalam menerbitkan regulasi sehingga tidak melahirkan stigma berat sebelah atau diskriminatif.
"Dalam hal ini BPOM sebagai regulator tidak boleh mengeluarkan aturan diskriminatif. Saya tidak tahu ada campur tangan politik atau tidak, BPOM yang pasti mendapat tekanan," kata Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio kepada Bisnis, Kamis (26/5/2022).
Menurutnya, dalam rangka meredam polemik di kalangan masyarakat dan dunia usaha, BPOM harus menjelaskan beberapa poin sehingga perdebatan tak terus memanas.
Salah satunya adalah penyampaian data mengenai uji laboratorium sebelumnya yang menunjukkan bahwa migrasi BPA pada air kemasan AMDK berbahan PC di bawah 0,01 bpj (10 mikrogram/kg) atau masih dalam batas aman.
BPOM juga perlu menegaskan bahwa paparan BPA berada dalam tingkat aman. Terlebih, di dalam Peraturan BPOM No. 20/2019 tentang Kemasan Pangan, persyaratan batas maksimal migrasi BPA sebesar 0,6 bpj (600 mikrogram/kg) dari kemasan PC.
Kemudian, lembaga tersebut juga perlu memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai laporan dari European Food Safety Authority (EFSA) atau Otoritas Keamanan Pangan Eropa yang menyampaikan bahwa tidak ada risiko bahaya kesehatan terkait dengan kadar BPA yang cukup rendah.
EFSA mencatat, di bawah 4 mikrogram/kg berat badan/hari batas aman paparan BPA oleh konsumen sebesar empat mikrogram/kg berat badan/hari. Singkat kata, seseorang dengan berat badan 60 kg masih dalam batas aman jika mengonsumsi BPA 240 mikrogram/hari.
Adapun, berdasarkan penelitian tentang paparan BPA (Elsevier, 2017) menunjukkan kisaran paparan BPA sehari-sehari sekitar 0,008-0,065 mikrogram/kg berbanding berat badan/hari, sehingga belum ada risiko bahaya kesehatan terkait paparan BPA.
Tak hanya itu, beberapa penelitian internasional juga menunjukkan penggunaan kemasan PC termasuk galon AMDK secara berulang tidak meningkatkan migrasi BPA. Dalam kaitan ini, Agus meminta kepada BPOM untuk menjaga independensi secara tegas serta menyampaikan informasi yang seimbang kepada masyarakat atau konsumen.
Jika hal itu tidak dilakukan, maka BPOM melakukan diskriminasi dan terjebak dalam pusaran dunia bisnis yang seharusnya dikelola dengan bijak oleh pemerintah.
"Saya tidak perlu menyebutkan siapa yang memproduksi galon PC atau PET, tapi informasi kepada masyarkat harus seimbang jadi tidak menyesatkan. Jika regulator mendiskriminasi maka bukan regulator yang baik. Maka itu harus seimbang peraturannya," jelasnya.
Pada sisi lain, Agus juga menyesalkan keterlibatan publik figur dalam penyebaran informasi yang sudah dikategorikan sebagai hoaks terkait dengan isu bahaya BPA dalam kemasan pangan.
Menurutnya, di tengah pandemi Covid-19 yang menyebabkan krisis dari kesehatan hingga sosial ekonomi, sangat tidak patut jika oknum-oknum tertentu menambah kesulitan dan kebingunan masyarakat melalui penyebaran informasi yang tidak benar.
Apalagi, Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak tahun lalu memasukkan informasi mengenai bahaya BPA dalam kemasan galon PC ke dalam kategori hoaks. Akan tetapi, beberapa kelompok mencoba terus mendorong isu ini dan diduga untuk kepentingan agenda bisnis pihak tertentu.
“Seharusnya publik figur dan tokoh masyarakat menghormati kewenangan dan kemampuan BPOM dalam mengawasi keamanan pangan karena didukung oleh ahli dan laboratorium yang kredibel. Jangan menyesatkan masyarakat,” ucap Agus.
Sekadar informasi, terdapat dua jenis kemasan air yang diperbolehkan beredar dipasaran pleh BPOM dan Kementerian Perindustrian, yakni kemasan plastik PET dan PC.
Kedua kemasan itu dinyatakan aman berdasarkan pengawasan dan penelitian rutin BPOM. Penelitian BPOM terakhir pada April 2021 menunjukkan kadar BPA dalam kemasan galon PC jauh di bawah ambang batas aman yang ditetapkan BPOM maupun badan pengawasan pangan Eropa.
“Selama puluhan tahun kemasan galon guna ulang telah digunakan oleh masyarakat luas dan terbukti aman sebagaimana dinyatakan oleh BPOM dan Kementerian Perindustrian,” kata Agus.
Hal senada disampaikan Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, yang meminta otoritas terkait untuk menyusun beleid khusus mengenai standar higienis air dalam kemasan, baik berbentuk galon, botol, maupun gelas.
Kemudian, menurutnya BPOM harus ada sosialisasi dari regulasi terkait standar tersebut, dan pentingnya mengkonsumsi air minum sesuai standar yang berlaku.
Menurutnya, perlu ada solusi dan jalan tengah mengenai pelabelan yang menunjukkan bahwa air dalam kemasan itu layak untuk dikonsumsi. Dengan demikian, terlepas dari siapa produsen atau apapun mereknya, sepanjang telah memenuhi standardisasi artinya layak untuk dikonsumsi.
Kemudian terkait air isi ulang, maka perlu diperlakukan sama. Artinya, air isi ulang juga harus diperiksa standar higienisnya. Jika memang sesuai standar dan layak minum maka perlu diberi label.
“Kalau memang tidak sesuai standar maka harus berani keluarkan sanksi. Karena kalau tidak sesuai standar, masyarakat yang terancam dirugikan karena resiko kesehatan lebih tinggi jika konsumsi air minum tidak layak. Jadi peran BPOM hanya keluarkan standar,” tegasnya.