Bisnis.com, JAKARTA - Salah satu keistimewaan yang Allah berikan untuk umat Nabi Muhammad saw dibanding umat-umat lainnya adalah malam Lailatul Qadar.
Malam yang lebih utama daripada seribu bulan. Dalam kitab Ahkamul Qur’an, Ibnu ‘Arabi (1165-1240 M) menjelaskan dengan mengutip pendapat Al-Qadli, Sungguh umat Muhammad saw telah mendapat anugerah yang tidak akan diberikan kepada umat lain selamanya.
Yaitu: Pertama, melakukan shalat lima waktu dengan pahala sebesar shalat lima puluh waktu. Kedua, berpuasa bulan Ramadhan dibalas sebesar puasa selama satu tahun. Ketiga, zakatnya cukup seperempat dari sepersepuluh. Keempat, membaca akhir surat al-Baqarah pahalanya seperti ibadah satu malam full.
Kelima, shalat Subuh pahalanya seperti ibadah satu malam full. Keenam, shalat Isya pahalanya seperti menghidupkan separuh malam. Ketujuh, anugerah yang tidak ada tandingannya, yaitu malam Lailatul Qadar yang lebih utama daripada 1000 bulan.”
Memiliki keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki oleh umat-umat terdahulu. Di antara keunggulan itu adalah malam Lailatul Qadar yang keunggulannya tidak tertandingi. Lantas, kapan sebenarnya malam Lailatul Qadar itu terjadi? Kita tidak bisa memastikan, kapan persisnya malam itu tiba.
Karena Allah swt memang merahasiakannya. Tetapi, kita masih bisa memprediksinya melalui pendapat para ulama yang ada. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin memaparkan pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani (1372-1449 M). Salah satu ulama hadits terkemuka dari mazhab Syafi’i.
Baca Juga
Menurut Ibnu Hajar, terkait waktu terjadinya malam Lailatul Qadar, ada banyak sekali pendapat, masing-masing pendapat dengan landasan argumennya. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyebutkan ada 45 pendapat soal ketetapan waktu malam Lailatul Qadar.
Namun, menurut Ibnu Hajar, dari 45 pendapat itu, yang paling unggul (rajih) adalah pendapat yang mengatakan bahwa malam Lailatul Qadar terjadi pada tanggal ganjil dari 10 malam terakhir bulan Ramadhan.
Jatuhnya di malam berbeda pada tiap tahunnya. Dari tanggal-tanggal ganjil itu, yang paling potensial adalah tanggal 21 dan 23 Ramadhan. Sebagaimana pendapat Imam Syafi’i. Sementara menurut mayoritas ulama adalah malam tanggal 27 Ramadhan. (Lihat Fathul Bari, juz 5, hal. 569) Berikut penulis paparkan dalil-dalil yang mendasari argumen Ibnu Hajar tersebut.
Pendapat yang mengatakan malam Lailatul Qadar pada tanggal ganjil dari 10 malam terakhir bulan Ramadhan. Berikut dalilnya, “Dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: ‘Carilah lailatul qadar itu dalam malam sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.”
Ibnu Hajar mengunggulkan pendapat yang mengatakan bahwa malam Lailatul Qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. Tepatnya pada malam-malam tanggal ganjil. Berikutnya, pendapat yang mengatakan terjadi pada lama ke-23 bulan Ramadan.
Pendapat ini didukung oleh Imam Syafi’i. Dalam satu hadits dijelaskan, salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Unais bertanya perihal malam Lailatul Qadar, Rasulullah mengatakan “Carilah pada malam ini (malam 23 Ramadan).
Sementara pendapat yang mengatakan tidak menentu, dalam artian berpindah-pindah setiap tahunnya, bukan hanya tanggal 23 atau 27 saja, berdasarkan banyak riwayat. Di mana setiap riwayatnya ada yang mengatakan tanggal 21, 23, 27, dan 29. Terlalu panjang jika penulis sebutkan satu persatu dalilnya.
Lalu, apa hikmah dirahasiakannya malam Lailatul Qadar ini? Masih menurut Ibnu Hajar. Dalam Fathul Bari-nya, ia menjelaskan, bahwa hikmah dirahasiakannya malam Lailatul Qadar adalah supaya umat Islam bersungguh-sungguh dalam berusaha memperolehnya dengan kesungguhan ibadah.