Bisnis.com, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulangkali menegaskan sikapnya terkait jabatan presiden dan penundaan pemilihan umum atau Pemilu 2024.
Meski demikian, jawaban dari Jokowi tersebut tidak mampu meredakan tensi politik yang kadung panas. Aksi demonstrasi kemudian pecah dan berubah menjadi kerusuhan di beberapa daerah. Ban bekas hingga kantor polisi jadi korban.
Ribut-ribut soal penundaan pemilu dan tetek bengek-nya itu sejatinya tidak perlu terjadi seandainya saluran-saluran demokrasi tidak mampet. Aspirasi rakyat bisa dengan mudah diakomodir secara tepat dan cepat oleh para wakil maupun pemegang mandat rakyat.
Namun karena peran DPR, yang dalam perspektif pembagian kekuasaan ala Montesquieu seharusnya menjadi representasi rakyat tidak berjalan optimal, upaya menempuh demokratisasi lewat jalanan kemudian sah-sah saja dilakukan.
Apalagi ada kecenderungan, DPR seolah menjadi kaki tangan rezim yang sedang berkuasa. Mereka lebih condong mewakili kekuasaan eksekutif dibandingkan rakyat selaku pemberi mandat sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi.
Indikasinya, saat ini sangat jarang muncul suara sumbang dari pimpinan atau anggota dewan yang mengkritisi penguasa. Kalaupun ada, anggota dewan itu biasanya langsung digeser atau paling sial diganti alias di PAW-kan. Miris.
Baca Juga
Padahal jika mengacu ke konstitusi, terutama hasil amandemen pada awal reformasi lalu, pembatasan kekuasan eksekutif dan penguatan peran dewan dilakukan supaya kekuasaan bisa terkontrol dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan kelompok politik tertentu.
Mayoritas orang Indonesia tentu tak ingin kembali ke zaman-zaman otoritarianisme. Zaman ketika kebebasan adalah sesuatu yang mahal. Zaman ketika mengkritik atau berbicara kritis bisa berujung ke penjara atau hilangnya nyawa.
Makanya, usai reformasi berlangsung, konstitusi mengatur secara jelas share atau pembagian kekuasaan, bagian mana saja yang menjadi kekuasaan rumpun eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Artinya jika semua simpul kekuasaan itu berjalan optimal, wacana-wacana yang bertentangan dengan konstitusi, seperti perpanjangan presiden 3 periode atau penundaan pemilu, bisa diminimalkan.
Apalagi DPR, lembaga yang punya peran sentral dalam menjaga demokrasi, telah dibekali banyak otoritas. Mereka punya hak untuk mempertanyakan atau bahkan mempermasalahkan kinerja pemerintah, bukannya diam ketika penguasa secara terang-terangan menabrak prinsip-prinsip konstitusi.
Sayangnya keistimewaan tersebut tidak dimaksimalkan, dibiarkan nganggur, atau kalaupun digunakan tidak sesuai fungsinya. Wajar, rakyat selaku pemberi mandat marah.
Untuk itu, sudah seharusnya segala kekisruhan dalam pelaksanaan demokrasi ini diakhiri. Politik transaksional atas nama koalisi juga perlu dihindari. DPR harus kembali ke khittah-nya, menjalankan fungsi check and balance dan menjadi oposisi sejati bagi eksekutif.
Kalau tidak? Jangan salahkan jika rakyat terus ribut, marah dan demokrasi jalanan akan terus terjadi pada masa depan.