Bisnis.com, JAKARTA - Sejak pertengahan 2020 hingga saat ini, masih terdengar desakan beberapa pihak terhadap Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan revisi aturan pelabelan pangan, di mana diusulkan label pada dua kemasan air galon berbeda agar memiliki label yang berbeda juga.
Kemasan galon polikarbonat yang telah beredar lebih 30 tahun akan dilabeli ‘berpotensi mengandung BPA’, sedangkan kemasan galon PET yang baru hadir di tahun 2020 dilabeli ‘BPA Free’.
Kebijakan itu jika diterapkan berpotensi akan menciptakan situasi asimetris (tidak setara) di antara dua produk yang pada dasarnya menjual air, dan bukan menjual ‘kemasan’ serta sejatinya sama-sama terbuat dari plastik (keras dan lunak) dan sama-sama memiliki risiko kesehatan.
Jika menelusuri jejak digital, ada dua hal menarik dari sikap BPOM atas isu pelabelan air kemasan galon tersebut. Di awal isu BPA ini diangkat oleh organisasi JPKL (Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan) yang juga baru terbentuk pada 2019), BPOM menegaskan keamanan air dalam kemasan galon polikarbonat yang selalu diperiksa mulai dari sumber produksi hingga kondisi di pasar.
BPOM pun menegaskan dan bahkan meminta Kemenkominfo menyatakan bahaya BPA dalam air kemasan galon PC (polikarbonat) ini sebagai hoaks atau disinformasi/informasi sesat.
Namun, kampanye negatif menyerang galon PC ini terus berlangsung dan “digawangi” sekelompok orang seperti Arist Merdeka Sirait dari LSM Komnas Anak, Roso Daras dari JPKL, mantan artis Arzeti Bilbina yang kini duduk di DPR Komisi IX serta organisasi terbaru FMCG Insights dan beberapa pelobi yang mengusung isu BPA pada galon PC.
Baca Juga
Ternyata, kampanye massif itu membuat BPOM goyah dan menganggap desakan itu sebagai aspirasi publik.
Unsur diskriminatif dalam rancangan beleid yang diajukan BPOM itu terkuak mengingat hampir seluruh pemain di industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dalam negeri menggunakan galon PC.
Sebaliknya, hanya terdapat segelintir pemain industri sejenis yang baru memanfaatkan galon sekali pakai dengan material polietilenatereftalat (PET) yang sejatinya sama-sama juga memiliki potensi tercemar bahan kimia aditif asetaldehid dan etilene glikol serta mikroplastik.
Karena itu, munculnya niatan revisi peraturan oleh BPOM pun dianggap hanya akan menguntungkan pemain industri tertentu yang produk kemasan galonnya hanya menggunakan PET dan tidak memiliki kemasan PC.
Di sini tampak jelas adanya upaya menghambat dan mengalahkan produsen air kemasan galon PC yang selama ini melakukan bisnis dengan wajar tanpa melakukan kampanye negatif terhadap jenis kemasan plastik lain karena semua jenis kemasan itu sudah sesuai peraturan dari Kemenperin dan BPOM.
Beragam beleid yang mengatur pelaku industri AMDK itu antara lain Permenperin No.26/2019 tentang Pemberlakukan Standar Nasional Indonesia Air Mineral, Air Demineral, Air Minum Alam, dan Air Minum Embun secara Wajib, bahwa air dalam kemasan GGU aman untuk dikonsumsi selama produk telah melalui proses pengujian parameter SNI.
Sementara dalam Permenperin No.24/M-IND/PER/2010 tentang Pencantuman Logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang pada Kemasan Pangan Plastik, dinyatakan bahwa GGU sudah terjamin keamanannya.
BPOM sendiri sebelumnya juga telah menepis anggapan tidak amannya air mineral dalam kemasan GGU karena terpapar BPA di atas ambang batas aman.
Bahkan otoritas tersebut menyertakan hasil pemantauan terahadap air GGU atau galon isi ulang berbahan polikarbonat yang beredar selama lima tahun belakangan, di mana pada intinya ditemukan fakta sangat aman untuk kesehatan, bahkan bagi kelompok rentan sekalipun.
Seperti diketahui, BPOM dalam Peraturan BPOM 20 Tahun 2019, mengatur bahwa ambang batas migrasi zat BPA dalam kemasan makanan dan minuman maksimal di angka 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg). Ambang batas sebesar itu dinilai masih aman untuk kesehatan.
Ambang Batas
Achmad Zainal Abidin, pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menegaskan aturan BPOM mengenai ambang batas migrasi zat BPA dalam kemasan makanan dan minuman itu sudah benar.
Menanggapi desakan dan tuntutan sejumlah pihak agar BPOM merevisi aturan tersebut dengan mewajibkan pencantuman label ‘berpotensi mengandung BPA’ untuk galon PC dan memperbolehkan pencantuman logo “BPA Free” pada kemasan PET adalah tindakan yang salah.
Menurut dia, pencantuman “BPA Free” pada galon AMDK adalah sesuatu yang salah, karena di mana-mana, termasuk di negara seperti Amerika Serikat dan Eropa, untuk kemasan berbahan polikarbonat/PC (plastik keras), ketentuannya adalah risiko migrasi BPA harus di bawah ambang batas yang ditetapkan.
BPOM RI sudah mengatur tentang ambang batas aman migrasi senyawa BPA. “Jadi bukan berpotensi mengandung BPA. Itu salah. Yang benar BPA harus di bawah ambang batas tertentu. Itu aturan yang benar,” paparnya.
Di sisi lain, penggunaan polikarbonat (PC) tidak hanya ada di galon AMDK, karena PC digunakan juga sebagai epoksi serta pelapis di beragam kemasan makanan dari kaleng.
Zainal Abidin menegaskan bahwa merupakan tindakan berlebihan melabeli galon polietilena tereftlat/PET (plastik lunak) dengan “BPA Free”, karena galon PET jelas tidak terbuat atau mengandung senyawa BPA, tapi menggunakan etilene glikol.
Senyawa kimia ini juga berbahaya kalau melampaui ambang batas, karena bisa menyebabkan kerusakan otak.
Zainal menjelaskan bahwa terhadap bahan berbahaya itu pengertian orang harus lengkap. “Itu kan seperti obat. Kalau pas takarannya, obat akan menyehatkan. Tapi kalau melewati batas, ya bisa mengakibatkan kematian, overdosis. Itu yang harus diketahui.”
Dia mengingatkan urgensi mengenai pelabelan BPA Free untuk galon AMDK harus berdasarkan kajian ilmiah, bukan hal lain. “Basisnya harus scientific, bukan emosi.”
Sementara Nailul Huda, peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menjelaskan bahwa pemain industri AMDK di dalam negeri sejauh ini memang mayoritas memanfaatkan GGU atau galon isi ulang berbahan polikarbonat.
Persoalannya, jika tiba-tiba muncul kebijakan untuk melabeli galon, akan menelan proses panjang dan biaya yang tak murah.
“Menarik kalau berbicara AMDK yang notabene pengaruhnya kecil dalam perekonomian namun belum bisa digantikan. AMDK ini jika mengacu ke PDB kita, cuma 0,3 persen kontribusinya, namun semua orang perlu air minum dan bahkan 70 persen AMDK merupakan air minum galon isi ulang,” ungkap Nailul.
Menanggapi isu diskriminasi kebijakan terhadap GGU polikarbonat dan mengistimewakan terhadap galon sekali pakai berbahan PET, Nailul menilai pemerintah harus hati-hati. Sebab, pencantuman logo BPA Free terhadap galon PET juga akan mempengaruhi pasar dan persaingan organik.
“Terlebih ada perusahaan yang sudah terlebih dahulu kampanye galon sekali pakai dengan BPA Free. Tentu "sampah" dari galon sekali pakai ini juga harus dipikirkan ulang agar tidak menimbulkan masalah baru,” tutupnya.
Jadi jika BPOM selalu mengkampanyekan baca label sebelum mengonsumsi makanan, alangkah bijaknya jika BPOM juga ‘baca kepentingan’ sebelum merevisi aturan label.