Bisnis.com,JAKARTA - Isu kontaminasi Bisphenol A (BPA) terhadap galon guna ulang atau GGU telah berlangsung selama setahun terakhir.
Hal ini telah menggiring Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengubah regulasi keamanan pangan, termasuk pelabelan galon guna ulang atau dalam bahasa sehari-hari masyarakat lebih terbiasa dengan istilah galon isi ulang.
Riak-riak yang semula kecil dan disudutkan sebagai berita hoaks itupun kini telah jadi isu utama terkait dengan kesehatan masyarakat. Terlebih lagi, kontaminasi BPA disebut-sebut ada pada setiap galon isi ulang, dengan konsumen jutaan orang. Mulai dari rumah tangga, perkantoran, instansi pemerintah, dan hampir seluruh aktivitas masyarakat membutuhkan keberadaan air kemasan galon tersebut.
Karena itu, satu isu sensitif seperti kontaminasi zat kimia berbahaya pada galon isi ulang telah menyulut perhatian publik. Namun, dari penelusuran jejak isu kontaminasi BPA, ada banyak centang perenang yang layak disorot.
Misalnya, terkait BPA yang diusung sebagai zat kimia berbahaya, pengasong isu kontaminasi galon isi ulang tampaknya belum bulat dan utuh mengunyah informasi. Seperti dikutip dari situs polimer.bppt.go.id, BPA adalah komponen organik dengan dua gugus fungsional phenol, yang dimanfaatkan untuk bahan polikarbonat dan resin epoksi.
Singkatnya, bahan ini dipergunakan untuk merekatkan plastik terutama pada bahan polikarbonat dan resin. Sejak 1930-an, industri telah memanfaatkan zat ini untuk memproduksi beragam kemasan dan produk. Alhasil, setiap produk plastik nyaris tidak terlepas dari keberadaan BPA.
Baca Juga
Bahkan, tidak saja pada wadah plastik, pemanfaatan BPA juga terdapat pada makanan kaleng sebagai lapisan antikarat. Termasuk, untuk bahan perawatan gigi.
Keresahan terhadap kontaminasi BPA juga bukan barang baru. Sejak memasuki milenium baru, isu kontaminasi BPA pada kemasan membuat beberapa negara seperti Kanada dan Uni Eropa melarangnya sebagai medium makanan dan minuman khusus pada bayi.
Sejalan dengan itu, berbagai penelitian pun dilakukan. Dari situs yang sama, diketahui penelitian yang telah dilakukan antara lain oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Hasil penelitian itu menyebutkan, kemungkinan efek negatif pada paparan BPA dosis kecil, terutama pada sistem syaraf dan tingkah laku, serta perbedaan paparan pada anak.
WHO mengumumkan akan mengorganisasi konsultasi para ahli untuk pengkajian keamanan BPA. Ahli pada WHO memberi rekomendasi tidak ada peraturan baru untuk membatasi atau melarang penggunaan BPA; karena itu inisiasi pelarangan pada masyarakat barangkali terlalu dini.
Otoritas keamanan makanan Australia dan New Zealand tidak melihat adanya resiko keamanan terkait dengan BPA, jika instruksi pabrik untuk pemakaian botol bayi diikuti. Ukuran paparan sangat rendah dan tidak menyebabkan risiko apapun.
Sejak April 2008, Otoritas Kesehatan Kanada menyimpulkan: Walau efek yang merugikan tidak tampak, namun margin keselamatan terlalu kecil untuk makanan bayi dan mengusulkan BPA dikategorikan sebagai bahan beracun untuk manusia dan lingkungan.
Setelah itu pemerintah Kanada melarang impor, menjual dan mengiklankan botol bayi dari polikarbonat yang mengandung BPA karena masalah keselamatan dan melakukan investigasi bagaimana menurunkan kandungan BPA pada makanan bayi dalam kaleng. Sementara untuk paparan pada manusia dewasa dianggap jumlah kandungan masih berada di bawah ambang batas aman. Pelarangan ini dipatuhi oleh para produsen botol bayi dan supermarket di Kanada.
Sedangkan di Eropa, publikasi dari Uni Eropa tahun 2008 menyebutkan bahwa BPA aman untuk pelanggan. Setelah ada laporan Lang, otoritas keamanan Uni Eropa, EFSA, Oktober 2008, melakukan revisi TDI, 'total daily intake' BPA menjadi 0.05 mg/kg berat badan.
Pada 2008, BPOM Amerika Serikat (FDA) melakukan kaji ulang tentang riset bahan beracun serta informasi tentang BPA dengan hasil bahwa makanan yang berhubungan dengan BPA yang beredar di pasaran dinyatakan aman. Namun penelitian terbaru menunjukkan adanya efek kecil dari dosis rendah BPA pada percobaan binatang dalam laboratorium. Selebihnya, BPA tidak terbukti membahayakan anak atau orang dewasa.
Penelitian terbaru ini menyebabkan Kementerian Kesehatan AS merasa prihatin terhadap keamanan dari BPA. FDA mendukung usaha untuk menghentikan industri memproduksi botol bayi dan mangkok atu 'cup' dibuat dari bahan yang mengandung BPA. FDA berusaha keras untuk mempelajari masa depan penggunaan BPA sehingga bisa diambil keputusan dengan cepat, maka informasi ilmiah terbaru sangat ditunggu.
Sebaliknya di Indonesia, keresahan yang sama justru tidak memacu adanya penelitian yang lebih matang. Sejauh ini, hanya berujung pada desakan pelabelan galon isi ulang air mineral.
PERNYATAAN BERBANTAHAN
Wacana ini melibatkan para praktisi kesehatan hingga anggota dewan. Lebih jauh, konten serupa juga hingar bingar di media sosial. Untuk konten terkait, justru otoritas Kemenkominfo sudah memberikan keterangan, bahwa informasi soal BPA galon isi ulang mengandung penyesatan.
Kebingungan serupa sepertinya juga dihadapi BPOM RI. Pernyataan kontaminasi BPA yang hanya mengerucut pada penindakan penggunaan galon isi ulang, berkali-kali juga dibantah.
Akademisi Universitas Indonesia (UI) Dita Wiradiputra mengatakan, jika ada kampanye hitam, maka pihak yang merasa dirugikan dapat melapor ke pihak berwenang.
“Kalau dinilai merupakan kampanye hitam. Ranahnya ini adalah pidana, karena mengandung informasi tidak jelas atau disinformasi,” ungkapnya, Senin (28/3/2022).
Pelaku industri pun turut kebingungan dengan derasnya wacana pembatasan edar galon isi ulang tersebut. Pasalnya, para pelaku usaha telah mengikuti aturan yang berlaku seperti Permenperin No. 26 Tahun 2019 tentang Pemberlakukan Standar Nasional Indonesia Air Mineral, Air Demineral, Air Minum Alam, dan Air Minum Embun secara Wajib, galon guna ulang aman untuk dikonsumsi selama produk telah melalui proses pengujian parameter SNI.
Sedangkan dalam Permenperin No. 24/M-IND/PER/2010 tentang Pencantuman Logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang pada Kemasan Pangan Plastik, galon guna ulang sudah terjamin keamanannya.
Seperti diketahui, BPOM sendiri dalam Peraturan BPOM No. 20/2019, mengatur bahwa ambang batas migrasi zat Bisfenol A (BPA) dalam kemasan makanan dan minuman maksimal di angka 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg). Ambang batas sebesar itu dinilai masih aman untuk kesehatan.
Tidak hanya itu, BPOM juga telah menepis anggapan tidak amannya air mineral kemasan galon isi ulang terpapar BPA di atas batas aman. Bahkan otoritas tersebut menyertakan hasil pemantauan terahadap air galon isi ulang berbahan polikarbonat yang beredar selama lima tahun belakangan.
MELINDUNGI SEMUA, BUKAN SEBAGIAN
Memasuki 2022, isu kontaminasi BPA yang digiring hanya menyasar industri air minum dalam kemasan (AMDK), khususnya galon isi ulang tidak juga mereda. Ban disinformasi dan bantahan dari pihak otoritas pun seperti angin lalu.
Belakangan, BPOM malah bertindak mengajukan revisi Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, khususnya pelabelan galon isi ulang. Persoalannya, jika merujuk alasan utama adalah kontaminasi BPA dan zat kimia berbahaya, hal itu selayaknya mencakup seluruh produk kemasan berbahan plastik, juga kaleng.
Begitupun termasuk air kemasan galon sekali pakai yang berbeda dengan galon isi ulang. Jenis produk air kemasan ini memanfaatkan galon sekali pakai berbahan plastik jenis Polietilena Tereftalat (PET), yang sama-sama mengandung BPA dan potensi besar paparan mikroplastik.
Sementara itu, Komisioner KPPU Chandra Setiawan melihat polemik kontaminasi BPA yang berujung pada upaya pelabelan produk air galon isi ulang berpotensi bisa saja mengandung diskriminasi yang dilarang dalam hukum persaingan usaha.
“Sebabnya 99,9 persen industri ini menggunakan galon tersebut, hanya satu yang menggunakan galon sekali pakai,” katanya, Minggu (27/3/2022).
Namun hingga kini, tuturnya, KPPU belum menerima draf terkait revisi aturan BPOM tentang pelabelan galon isi ulang. Hanya saja, tegas Chandra, kalau mendasarkan pada keresahan terkait kontaminasi zat kimia berbahaya, selayaknya seluruh produk dikenakan perlakuan serupa.
“Apalagi, harus ada penelitian juga pembahasan bersama pelaku usaha, karena ini upaya untuk melindungi semua, bukan sebagian,” tegas Chandra.