Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) memangkas hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo menjadi 5 tahun penjara di tingkat kasasi.
Putusan kasasi yang dibacakan pada Senin (7/3/2022) itu lebih rendah dibandingkan vonis di tingkat banding. Pasalnya di tingkat banding, politikus Gerindra tersebut divonis 9 tahun penjara.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan penjara 5 tahun dan denda sebesar Rp400 juta,” demikian bunyi putusan yang dikutip dari laman resmi MA, Rabu (9/3/2022).
Selain hukuman kurungan, MA juga memangkas pencabutan hak politik Edhy Prabowo dari 3 tahun menjadi 2 tahun. Hukuman itu dihitung seusai Edhy menjalani masa kurungan.
Dalam pertimbangannya, hakim berasalan bahwa pemangkasan hukuman Edhy Prabowo dilakukan karena hakim di tingkat banding tidak mempertimbangkan keadaan yang meringankan Edhy Prabowo.
Edhy, menurut hakim, dianggap telah bekerja dengan baik sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Dia memberikan harapan bagi nelayan untuk memanfaatkan benih lobster sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat, khususnya nelayan.
Baca Juga
"Terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan sudah bekerja dengan baik dan memberikan harapan kepada nelayan," tulis putusan tersebut.
Banding 9 Tahun
Sebelumnya Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari 5 tahun menjadi 9 tahun penjara.
Putusan itu terkait banding yang diajukan Edhy dalam kasus suap eksportasi benih lobster alias benur. Hakim PT DKI menilai Edhy telah terbukti menerima suap Rp25,7 miliar terkait izin ekspor benih bening lobster.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 9 tahun dan denda sebesar Rp400 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," demikian bunyi putusan hakim PT DKI yang dikutip Bisnis, Rabu (10/11/2021).
Selain menambah waktu kurungan, PT DKI Jakarta juga mengubah hukuman pengganti yang semula 2 tahun jika tidak mampu membayar uang pengganti senilai Rp9,6 miliar dan US$77.000 menjadi 3 tahun penjara. Hukuman akan itu diterapkan jika harta Edhy Prabowo tak mampu membayar uang pengganti tersebut.
Sementara untuk pencabutan hak politik, bunyi putusannya masih sama dengan pengadilan tingkat pertama yakni 3 tahun sejak selesai menjalani hukuman.
Adapun di pengadilan tingkat pertama Edhy Prabowo dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider pidana badan selama 6 bulan kurungan terkait perkara suap izin ekspor benih bening lobster alias benur.
Kasus Lobster
Edhy telah terbukti menerima uang suap melalui dua staf khususnya yakni Andreau Misanta Pribadi dan Safri berserta tiga terdakwa lainnya yakni Amiril Mukminin, Ainul Faqih, dan Siswadhi Pranoto Loe.
Perbuatan itu dilakukan mulai bulan Februari 2020 sampai dengan bulan November 2020 lalu. Transaksi suap itu terjadi di Rumah Dinas Edhy Prabowo, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hingga Bank BCA Cabang KCP Pondok Gede Plaza Jalan Raya Pondok Gede Jatiwaringin Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi.
Jaksa dalam petikan dakwaan itu menyebutkan kalau Edhy Prabowo melalui Amiril Mukminin dan Safri telah menerima hadiah berupa uang sejumlah US$77.000 dari Suharjito selaku Pemilik PT. Dua Putera Perkasa Pratama.
Selain itu, Edhy juga didakwa menerima uang senilai Rp24,6 miliar. Uang itu diterima melalui Amiril Mukminin, Ainul Faqih, Andreu Misanta Pribadi, dan Siswadhi dari para eksportir benih lobster lainnya.
Jaksa KPK menganggap bahwa suap itu diduga diberikan untuk mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor benih lobster milik para eksportir.
Adapun atas perbuatannya tersebut, Edhy Prabowo dijerat denga Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.