Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD berharap agar ke depan media sosial dapat menjadi wadah untuk berbagi dan interaksi masyarakat.
“Media sosial perlu menjadi media yang memungkinkan untuk warga berinteraksi secara positif,” kata Mahfud dikutip melalui Youtube Dewan Pers Official, Selasa (8/2/2022).
Namun, Mahfud mengatakan terdapat sejumlah tantangan yang masih harus dihadapi, di mana media sosial telah menjadi ruang besar warga yang kerap mengabaikan etika publik, bahkan tidak jarang menjadi wadah penyebaran secara luas berita palsu atau hoaks dan berbagai konten disinformasi.
Dia pun menilai, tantangan tersebut tidak lain merupakan buah dari proses transformasi digital yang berlangsung secara cepat dan global sehingga membuka ruang lebih luas.
“Ini [media sosial] seharusnya bisa dibuat untuk membangun kesetaraan, antisipasi publik, dan iklim demokrasi yang sehat,” ujarnya.
Mahfud mengakui bahwa dibalik keuntungan media sosial tentunya juga menghasilkan masalah baru dengan penyebaran percakapan yang mengesampingkan etika serta informasi yang menyesatkan publik.
“Praktik ini banyak terjadi dan memberikan keuntungan bagi pihak tertentu yang menghasilkan ketimpangan dan mengusik kedaulatan nasional khususnya di bidang digital,” katanya.
Dia menyebut berita hoaks seringkali menggunakan alasan kebebasan dan hak konstitusional sehingga muncullah peran baru, yaitu buzzer.
“Pemerintah terus dituding jangan memelihara buzzer, jangan membayar buzzer, apabila dilihat buzzer ini dianggap orang yang membela pemerintah, sedangkan yang menyerang pemerintah tidak disebut buzzer. Fenomena ini jangan ditudingkan ke pemerintah, tetapi ke kita semua, karena terkadang ada ambigu, pandangan begitu banyak dan akhirnya buzzer bermain,” tuturnya.
Mahfud juga menilai membangun model media tidak bisa dilepaskan dari kedisiplinan pekerja pers dalam mempertahankan dan meningkatkan profesionalisme dan kualitas.
Dia melanjutkan, apabila pers dan media ingin terus berkelanjutan menjadi pilihan publik, mereka tidak seharusnya menerapkan praktik jurnalisme yang menggampangkan proses dan menurunkan kualitas.
“Misalnya menulis tanpa konfirmasi, menulis secara sepihak, dan tidak cover both side, serta memilih narasumber tidak kredibel, dan judul berita clickbait tetapi tidak sesuai dengan isi berita,” tutur Mahfud.