Bisnis.com, JAKARTA - Adanya pasal-pasal yang dinilai kontroversial membuat beberapa pihak menginginkan agar Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi untuk dicabut.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PKS, Fahmy Alaydroes mengatakan pasal-pasal yang memiliki arti kontroversial akan menimbulkan berbagai macam tafsiran di masyarakat. Menurut dia, pasal-pasal tersebut tidak bisa dilepaskan dari paradigma pembuatnya, sehingga perlu adanya penjelasan yang mendetail.
Menurut Fahmy, apabila pasal-pasal kontroversial tersebut dibiarkan, maka akan terjadi pandangan bahwa aturan tersebut menyampingkan pemberatasan pelecahan dan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Selain itu, hal tersebut dapat membuat fungsi dari aturan tersebut semakin dipertanyakan.
"Menurut saya tidak sekadar cuma mencoret atau meralat, menurut saya yang paling bijaksana cabut saja dulu permen tersebut lalu libatkan sebagian stakeholder yang merasa belum dilibatkan, termasuk ahli hukum, duduk bersama perbaiki direkonstruksi ulang menurut saya itu akan lebih sangat efektif," kata Fahmy dalam webinar Polemik MNC Trijaya Pro Kontra Permen PPKS, Sabtu (12/11/2021).
Sementara itu, Ketua Komnas HAM Ahmad T. Damanik mengatakan pihaknya menginginkan dialog yang lebih luas terkait dengan Permen PPKS.
"Kita menginginkan dialog yang lebih luas penjelasan lebih detil mekanisme-mekanismenya jangan sampai berbenturan dengan penegak hukum," ujarnya.
Sebelumnya Permendikbudristek No 30/2021 juga diminta dicabut oleh Sekretaris Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah Muhammad Sayuti karena aturan tersebut dinilai mengakomodasi pembiaran praktik perzinahan di kampus, sebab perbuatan asusila tidak dikategorikan sebagai kekerasan seksual jika suka sama suka atau pelaku mendapat persetujuan dari korban.
Sejumlah frasa dalam pasal aturan tersebut mendapatkan penolakan seperti penggunaan frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang terdapat pada pasal 5 Permendikbud Ristek Nomor 30 tersebut.
Kalimat ‘tanpa persetujuan’ korban tersebut menurutnya mendegradasi Permen itu sendiri bahwa menjadi bisa dibenarkan apabila ada persetujuan korban.
“Sandungan paling krusial bagi Muhammadiyah dalam menerima Permendikbud 30 adalah kalimat di dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa ”tanpa persetujuan korban” sehingga mengandung makna bahwa kegiatan seksual dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent),” jelas Sayuti.