Bisnis.com, JAKARTA — Korps Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Riau (Komahi UNRI) membuat petisi kepada Mapolda Riau untuk tolak kriminalisasi korban pelecehan seksual di Fisip UNRI.
Dalam dua hari petisi yang bisa diakses di www.change.org/KamiTidakGentar tersebut sudah didukung lebih dari 20.000 tanda tangan.
Sebelumnya, Dekan Fisip UNRI, yang merupakan terduga pelaku pelecehan seksual, melaporkan korban ke polisi dengan pasal pencemaran nama baik UU ITE.
Salah satu penggagas petisi yang juga merupakan Vice Mayor Komahi, Voppi Rosea Bulki menuturkan bahwa kriminalisasi terhadap korban kekerasan seksual yang berani bersuara adalah preseden buruk.
“Baru beberapa hari Mendikbud sahkan Peraturan Menteri soal pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual, tapi pelecehan seksual oleh tenaga pendidik masih terus terjadi. Sekarang, tenaga pendidiknya sendiri malah mengkriminalisasi korbannya dan orang yang berani bersuara,” kata Voppi dalam keterangan pers, Kamis (11/11/2021).
Di dalam petisi, Voppi menjelaskan bahwa seorang penyintas awalnya ragu untuk bersuara tentang dugaan pelecehan seksual oleh Dekan Fisip UNRI. Namun penyintas tersebut akhirnya berani bicara setelah mereka meyakinkan akan membantunya.
Voppi melanjutkan, mereka mulai membantu penyintas untuk melapor ke Mapolresta Pekanbaru dan mengumpulkan dukungan lewat akun Instagram @komahi_ur. Namun, karena unggahan tersebut, Dekan Fisip UNRI melaporkan akun instagram @komahi_ur dan penyintas pelecehan seksual ke Mapolda Riau atas tuduhan dugaan pencemaran nama baik UU ITE.
Laporan ini dianggap tidak tepat oleh Komahi, karena berdasarkan Surat Keputusan Bersama pedoman implementasi UU ITE dari Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri, terduga pelaku tidak boleh mengajukan laporan pencemaran nama baik ketika fakta yang dituduhkan kepadanya sedang dalam proses hukum.
Inilah yang membuat Komahi UNRI meminta Mapolda Riau untuk menolak laporan dugaan pencemaran nama baik yang dilayangkan Dekan Fisip UNRI. Menurutnya sulit bagi korban kekerasan seksual untuk berani bersuara.
“Jangan sampai UU ITE dipakai untuk membungkam korban pelecehan seksual. Menteri Pendidikan, Mas Nadiem juga sepakat bahwa untuk meningkatkan kualitas pembelajaran setiap mahasiswa/i harus merasa nyaman terlebih dahulu. Namun di mana letak nyaman jika kami dihantui oleh rasa kekhawatiran,” tegas Voppi.
Voppi menambahkan bahwa jumlah kasus pelecehan seksual diumpamakan seperti gunung es, hanya sedikit permukaan yang tampak tapi jauh di dalam terbenam kasus yang tak kunjung diungkapkan. Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengawal penuntasan kasus pelecehan seksual di UNRI.
“Bantu kami kumpulkan banyak tandatangan petisi kami di Change.org dan sebar tagar #KamiTidakGentar ya teman-teman. Kami ingin menjadi generasi merdeka belajar tanpa ada nya ketakutan. Dukung dan lindungi kami, baik secara akademik maupun mental. Mahasiswa/i merupakan aset keberhasilan bangsa di masa depan,” tuturnya.
Sementara itu, Dosen Fisip UNRI Syafri Harto yang dilaporkan ke polisi terkait kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya, menuntut balik pihak-pihak yang telah merugikannya.
Dirinya melaporkan mahasiswa yang menuduhnya melakukan pelecehan seksual. Kemudian dirinya juga mencari aktor intelektual di balik masalah tersebut. Pasalnya, dia mencurigai adanya orang yang menghubungkan masalah tersebut dengan pemilihan rektor UNRI 2022, yang mengatakan bahwa dirinya akan mencalonkan sebagai rektor.
Syafri pun sudah melaporkan mahasiswa yang menuduhnya melakukan pelecehan seksual atas nama pencemaran nama baik. Dirinya kemudian menuntut Rp10 miliar terhadap pihak yang dirasa telah merugikannya.