Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Krisis Afganistan dalam Pusaran Agenda Negara Besar

Sejumlah negara-negara besar mulai gencar berebut pengaruh dalam menangani krisis di Afganistan. Sebuah upaya yang belum memperlihatkan titik terang di tengah memanasnya pergolakan internal.
Tentara Afganistan dan Tentara NATO memeriksa bangunan yang rusak akibat serangan bom, Kamis (10/11/2016). /Reuters
Tentara Afganistan dan Tentara NATO memeriksa bangunan yang rusak akibat serangan bom, Kamis (10/11/2016). /Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Negara-negara besar dan berpengaruh kuat masih terus berupaya untuk membantu Afganistan keluar dari berbagai krisis, menyusul berkuasanya kembali Taliban dan maraknya serangan bom mematikan di negara itu.

Bila disimak, agenda yang diusung negara-negara besar tersebut tentu berbeda satu sama lain. Hal yang paling nyata, misalnya, perbedaan pendekatan yang ditempuh China dan Amerika Serikat (AS).

Beijing tampaknya ingin normalisasi kehidupan di Afganistan bisa terwujud dari aspek pemulihan ekonomi terlebih dulu. Hal ini paling tidak terekam dari pernyataan Menteri Luar Negeri China Wang Yi yang menyerukan pencabutan sanksi internasional terhadap negara yang kerap digoyang konflik internal itu.

Cadangan devisa Afghanistan merupakan aset negara itu yang bisa digunakan untuk rakyatnya, kata Wang dalam konferensi video para menteri luar negeri negara-negara Kelompok 20 (G20), Kamis (23/9), tulis Antara.

Menurut dia, cadangan devisa Afghanistan yang diblokir tidak bisa dijadikan alat tawar untuk menekan negara yang kini dikuasai oleh kelompok gerilyawan Taliban itu.

Bahkan Beijing sudah siap dengan ‘misi ekonominya’ itu dengan mengajukan proposal khusus terkait Afghanistan. Sebagai catatan, China telah memberikan bantuan dana kemanusiaan senilai 200 juta yuan (Rp440,7 miliar) pada Afghanistan, termasuk donasi 3 juta dosis vaksin Covid-19.

Wang juga tidak ragu untuk mengingatkan kekuatan besar lainnya yaitu AS dengan para sekutunya di Barat, terutama negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), guna memperlihatkan kepedulian yang nyata pula.

"Keberhasilan merekonstruksi sistem ekonomi di Afghanistan akan menjadi solusi dalam mencegah munculnya masalah imigrasi yang sangat rumit," paparnya.

Dalam melihat konstelasi di Afganistan, Pemerintah China sejauh ini tetap mendukung langkah PBB dalam memainkan peran utamanya dalam memelihara perdamaian dan stabilitas di negara tersebut serta memberikan bantuan kemanusiaan.

Di tengah agenda yang diusung negara-negara besar tersebut, peta politik di Afganistan masih tetap eksplosif. Penegasan pemerintahan Taliban beberapa waktu lalu yang mengatakan tidak ada bukti bahwa para petempur ISIS ataupun Al Qaida berada di negaranya, makin membuat masyarakat internasional bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang sedang bermain api?

Seperti diulas di muka, agenda Beijing berbeda total dengan pendekatan Washington. Pasalnya, dalam waktu yang terbilang singkat, Gedung Putih menghadapi dua persoalan berat dan rumit di sana.

Hal ini akan benar-benar menguji kebijakan politik luar negeri Presiden Joe Biden terhadap negara yang selama dua dekade lebih ‘dibina secara mendalam’ oleh Paman Sam tersebut.

Persoalan pertama, kelompok Taliban muncul kembali sebagai kekuatan pengendali. Kedua, hadirnya ISIS dengan serangan bom mematikan di Bandara Kabul beberapa waktu lalu yang juga menewaskan sejumlah tentara AS.  

Kedua peristiwa tersebut seolah ingin menyambut kepergian militer AS dan sekutunya setelah hampir 20 tahun berada di bumi Afganistan untuk ‘mengajarkan’ demokrasi dan sekaligus mengawalnya dari ancaman Taliban.

Namun sebuah ‘kado’ yang tak terduga muncul begitu cepat dan langsung menyentak rasa ‘nasionalisme’ Amerika. Persoalannya, belum bisa dibaca akan seperti apa ‘kebijakan baru’ Gedung Putih terkait dengan dua fenomena menyentak di Afganistan itu, selain sikap keras yang disampaikan oleh Joe Biden untuk  membalas pelaku serangan bom yang disebut-sebut dilakukan oleh kelompok  ISIS-K.

Energi politik luar negeri AS kini tampaknya terpusat untuk melakukan aksi pembalasan, sehingga dalam batas-batas tertentu harus melihat munculnya kembali Taliban sebagai fakta politik yang sulit dibantah.

Di sisi lain, kita bisa melihat bahwa kehadiran pasukan asing (AS dan sekutunya) di Afganistan dalam periode yang cukup lama ternyata belum mampu juga membuat keamanan dan demokrasi negara itu kondusif.

Bisa dikatakan politik di Afganistan dalam kondisi siap meledak setiap saat. Sangat eksplosif, dan itu kian terbukti hari-hari ini. Respons keras AS terhadap pelaku pemboman akan membuatnya semakin berantakan dan kusut, karena tentara ISIS tidak mengenal negara.

Mereka bisa berpetualang ke mana-mana dan kini Afganistan tampaknya menjadi salah satu medan operasi tempur baru bagi ISIS yang langsung berhadapan dengan Paman Sam.

Tak ayal, dilema AS di Afganistan juga bakal membawa implikasi baru bagi konstelasi politik di kawasan panas tersebut.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper