Bisnis.com, JAKARTA - Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko Wahyono mengaku tidak yakin kasus Covid-19 Indonesia mengalami tren penurunan yang begitu cepat.
Sebab, langkah 3T seperti pemeriksaan dini (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment) dinilai masih lemah.
“Saya yakin tren penurunan dari Juli, 340 ribu, 320 ribu bahkan 310 ribu, tapi saya tidak yakin itu puluhan ribu, belasan rib. Apakah sekarang 5 ribu. Ini jadi tanda tanya. Ini menunjukan datanya gak beres lah,” ujar Tri Yunis kepada Bisnis, Senin (6/9/2021).
Dia khawatir 3T berkurang lantaran untuk lebih cepat dilakukan pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
“Harusnya testingnya 1 per 1.000 dari jumlah penduduk per minggu. Harusnya Indonesia melakukan minimal 267 ribu tes perminggu. Ini kan masih standar. Kontak tracingnya kurang dari 10, padahal harusnya 20-30 sesuai anjuran WHO,” ujarnya.
“Saya khawatir tes disedikit-sedikitkan atau cuma yang ditemui yang dilaporkan,” sambung Tri.
Baca Juga
Jika pun diturunkan level PPKM-nya, harus dilakukan secara perlahan-lahan dan hati-hati.
“Kalau tes standar boleh saja diturunkan. Jika tidak, jangan dilonggarkan. Kalau pemerintah memikirkan rakyat,” tuturnya.
Dia khawatir, apabila pemerintah menurunkan level PPKM secara drastis akan terjadi ledakan Covid-19 seperti yang terjadi awal tahun dan Juli lalu.
“Pemerintah harus memaksa untuk menstandarkan 3T-nya sebagai syarat untuk melakukan penurunan levelnya. Harus diancam pemda. Kalau tidak, berlomba-lomba turun,” tukasnya.
Selain itu, hingga hari ini upaya pemerintah untuk melakukan kontak tracing atau pelacakan kasus juga masih sangat rendah. Jika pelacakan dilakukan dengan baik, jumlah kasus bisa ditemukan lebih banyak.
"Kebijakan 3T pemerintah saya lihat masih bermasalah. Hanya DKI yang sudah tinggi upaya pelacakannya," ucapnya.
Namun, kata dia, upaya pelacakan di DKI juga menurun sejak akhir tahun lalu. Padahal saat awal pandemi Covid-19, pelacakan di DKI bisa mencapai 20-30 orang per satu kasus.
Artinya setiap ditemukan satu kasus DKI melacak kontak erat hingga 30 orang.
"Tapi sekarang maksimal kisaran 5-10 orang. Ini harus ditingkatkan kalau mau melihat angka sebenarnya," ujarnya.