Bisnis.com, JAKARTA - Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) memprediksi nilai kerugian negara yang muncul akibat kasus korupsi PT Perum Perindo mencapai ratusan miliar.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Supardi mengemukakan bahwa angka ratusan miliar tersebut masih nilai dugaan kerugian negara sementara. Menurutnya, angka itu bisa naik maupun turun tergantung dari hitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) nanti.
"Nilai kerugian negaranya belum fix, tapi kira-kira angkanya ratusan miliar lah," tuturnya kepada Bisnis, Rabu (25/8/2021).
Supardi menjelaskan pihaknya telah berkoordinasi dengan BPK selama proses penyidikan PT Perum Perindo berjalan di Gedung Bundar Kejagung.
Koordinasi dengan BPK itu, kata Supardi, dilakukan untuk mendapatkan nilai pasti kerugian negara yang muncul akibat perkara dugaan tindak pidana korupsi PT Perum Perindo. "Koordinasi masih berjalan sampai saat ini," kata Supardi.
Sebelumnya, Kejagung menaikan perkara dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan dan usaha PT Perum Perindo ke penyidikan, kendati tidak diikuti dengan penetapan tersangka.
Baca Juga
Perkara dugaan tindak pidana korupsi itu terjadi tahun 2017, ketika Perum Perindo menerbitkan Medium Tern Notes (MTN) atau hutang jangka menengah. MTN tersebut adalah salah satu upaya untuk mendapatkan dana dengan cara menjual prospek.
Adapun prospek yang dijual Perum Perindo dalam hal penangkapan ikan, selanjutnya Perum Perindo mendapatkan dana MTN itu Rp200 miliar.
Pencairan dana MTN itu, terbagi jadi dua pencairan yaitu pada bulan Agustus 2017 telah cair Rp100 miliar dengan return 9 persen dibayar per triwulan dan jangka waktu 3 tahun yang jatuh pada bulan Agustus 2020.
Pencairan kedua pada Desember 2017 sebesar Rp100 miliar dengan return 9,5 persen dibayar per triwulan, jangka waktu 3 tahun yang jatuh tempo bulan Desember 2020.
Perum Perindo memakai sebagian besar dananya untuk modal kerja perdagangan.
Kemudian, pendapatan Perum Perindo mengalami peningkatan sebesar Rp223 miliar pada tahun 2016, selanjutnya pada tahun 2017 meningkat lagi menjadi Rp603 miliar serta pada tahun 2018 mencapai Rp1 triliun.
Pencapaian dilakukan dengan melibatkan semua unit usaha untuk melakukan perdagangan sehingga menimbulkan permasalahan kontrol transaksi perdagangan menjadi lemah, di mana masih terjadi transaksi walau mitra terindikasi macet.