Bisnis.com, JAKARTA - Pemimpin junta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing tiba di Moskow untuk konferensi keamanan internasional sekaligus menandai perjalanan ke luar negeri keduanya sejak dia merebut kekuasaan dalam kudeta pada 1 Febriari lalu.
Myanmar dilanda kekacauan sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan pemerintah Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Berdasarkan data dari Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) korban tewas di tangan junta mencapai 872, sementara yang ditahan sebanyak 5.033 orang.
Jenderal Min Aung Hlaing meninggalkan ibu kota Naypyidaw pada Minggu dengan penerbangan khusus untuk menghadiri Konferensi Keamanan Internasional Moskow, kata MRTV yang dikelola negara.
"Dia hadir atas undangan Menteri Pertahanan Rusia," menurut media tersebut seraya menambahkan bahwa dia disambut oleh duta besar Rusia untuk Myanmar di bandara.
Akan tetapi tidak ada perincian tentang berapa lama dia akan berada di Rusia, sekutu dan pemasok senjata utama bagi militer Myanmar. Kedutaan Myanmar di Rusia telah mengkonfirmasi kedatangan Min Aung Hlaing ke kantor berita negara Rusia RIA Novosti.
"Panglima telah tiba di Moskow," kata seorang juru bicara kedutaan seperti dikutip ChannelNewsAsia.com, Senin (21/6/2021).
Baca Juga
Sebelumnya, Aung Hlaing melakukan perjalanan ke luar negeri untuk menghadiri konferensi tingkat tinggi Asean di Jakarta pada akhir April.
Kudeta di Myanmar menjadi sorotan banyak pihak dan lembaga internasional, salah satunya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Majelis Umum PBB telah menyerukan embargo senjata ke Myanmar. Mereka juga mendesak militer menghormati hasil Pemilu November dan membebaskan tahanan politik, termasuk Aung San Suu Kyi.
Namun Kementerian luar negeri Myanmar versi junta menolak resolusi PBB tersebut. Dia menyebut resolusi itu hanya, "berdasarkan tuduhan sepihak dan asumsi yang salah."
Mereka juga telah mengirimkan surat keberatan kepada Sekjen dan presiden Majelis Umum PBB.
Sementara itu, Duta Besar Myanmar untuk PBB versi pemerintahan yang digulingkan, Kyaw Moe Tun memberikan suara untuk mendukung resolusi tersebut.
Tun menolak kudeta dan menepis klaim junta militer bahwa dia tidak lagi mewakili Myanmar. PBB sendiri pun masih menganggapnya sebagai utusan yang sah.