Bisnis.com, JAKARTA - Parlemen Israel akhirnya sepakat mengakhiri masa jabatan 12 tahun Benjamin Netanyahu sebagai perdana menteri sekaligus menyetujui pemerintah koalisi yang berjanji akan memulihkan persatuan.
Naftali Bennett, ketua partai ultranasionalis yang menguasai enam kursi di Knesset yang memiliki 120 kursi dilantik sebagai perdana menteri kemarin. Keputusan itu diambil setelah parlemen mendukung pemerintah koalisi baru dengan selisih tipis 60 berbanding 59 suara.
Bennett memimpin aliansi sayap kiri, tengah, dan sayap kanan, serta partai yang mewakili 21 persen minoritas yang terdiri dari warga Palestina di Israel. Mereka memiliki sedikit kesamaan kecuali keinginan untuk menggulingkan Netanyahu.
Di bawah perjanjian rotasi, Bennett akan menjabat sebagai perdana menteri selama dua tahun dan kemudian digantikan oleh pemimpin partai tengah Yair Lapid.
Pemerintahan akan fokus pada reformasi domestik dan Bennett kemungkinan akan mengejar agenda sayap kanan yang sama dengan Netanyahu.
Analis politik senior Al Jazeera, Marwan Bishara, menggambarkan peristiwa itu sebagai “permusuhan keluarga” dengan mengatakan bahwa tidak ada perbedaan ideologis antara perdana menteri lama dan baru.
Baca Juga
“Mereka pada dasarnya semua milik keluarga Zionis sayap kanan yang sama,” kata Bishara, merujuk pada Netanyahu dan Bennett seperti dikutip Aljazeera.com, Senin (14/6/2021). Perbedaan di antara mereka bersifat pribadi, yakni dendam, katanya.
Netanyahu, yang tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya setelah tersingkir, segera meninggalkan ruang parlemen. Dia sebelumnya gagal membentuk pemerintahan setelah pemilihan umum pada 23 Maret atau yang keempat dalam dua tahun.
Pria berusia 71 tahun itu dicintai oleh pendukung garis kerasnya dan dibenci oleh para kritikus. Pengadilan korupsi yang sedang berlangsung atas tuduhan korupsi yang dibantahnya kian membuatnya terpuruk.
Akan tetapi dia tetap menjadi ketua partai terbesar di parlemen dan diperkirakan akan menentang keras pemerintahan baru. Jika pemerintahan kehilangan mayoritasnya maka dia punya celah untuk kembali berkuasa.
Pihak lawannya telah lama mengecam apa yang mereka lihat sebagai retorika memecah belah, sebuah taktik politik licik dan mengalahkan kepentingan negara demi kelangsungan politiknya.