Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah memutuskan untuk merevisi secara terbatas UU No.19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan tujuan menghapuskan pasal karet atau pasal yang dinilai multitafsir.
Keputusan itu dilakukan untuk mengakhiri polemik Undang-Undang No. 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Rencana tersebut diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Dia menyebut, pasal yang akan direvisi adalah Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 36, serta penambahan Pasal 45 c.
Mahfud menjelaskan revisi terbatas UU ITE akan mencakup enam masalah, yaitu ujaran kebencian, kebohongan, perjudian daring, kesusilaan, fitnah, dan pencemaran atau penghinaan.
“Kita perbaiki tanpa mencabut UU ITE itu. Karena undang-undang itu masih sangat diperlukan untuk atur lalu lintas komunikasi di dunia digital," katanya pada Rabu (9/6/2021).
Dipilihnya empat pasal yang akan direvisi dan penambahan satu pasal dilakukan melalui diskusi intensif 55 orang termasuk diantaranya adalah Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, Ketua Harian Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) Benny Mamoto, akademisi, korban UU ITE, hingga aktivis.
Baca Juga
Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Dahlian Persadha menilai revisi terbatas UU ITE menjadi angin segar bagi masyarakat yang selama ini banyak menyoroti Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) di UU tersebut. Pembahasan kedua poin itu tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan perdebatan panjang.
“Frasa pencemaran nama baik pada Pasal 27 ayat (3) harus merujuk pada Pasal 310 dan 311 KUHP [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana]. Artinya, bisa diperjelas dengan kalimat seperti tindakan merusak nama baik seseorang yang berakibat kerugian material dan immaterial,” katanya kepada Bisnis, Kamis (10/6/2021).
Selain frasa ujaran kebencian, pada Pasal 28 ayat (2) diperlukan pula penjelasan lebih lanjut mengenai makna suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA), terutama frasa terakhir antargolongan. Seperti diketahui, frasa tersebut kerap menimbulkan perdebatan dan disalahgunakan.
Opsi lain yang bisa diambil menurut Pratama adalah penghapusan poin yang mengandung frasa multitafsir itu dari UU ITE. Poin tersebut nantinya dapat dimasukkan dalam rumusan RUU KUHP yang sedang dibahas oleh DPR RI.
Di sisi lain, Pratama mempertanyakan tidak adanya revisi terhadap Pasal 26 ayat (3). Padahal, pasal tersebut selama ini juga menimbulkan perdebatan, terutama di kalangan pers.
“Pasal tersebut bisa memaksa pers atau media untuk menghapus berita, hal ini yang dianggap bisa mengancam kebebasan pers,” ujarnya.
Komprehensif
Sementara itu, Pakar Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI)Sutiaji Ahmad menilai revisi terbatas UU ITE sepatutnya dilakukan secara komprehensif. Karena masih banyak pasal lain diluar empat pasal yang akan direvisi memuat frasa multitafsir, salah satunya adalah Pasal 6.
Pasal tersebut memuat frasa dapat diakses dan ditampilkan yang cenderung berpotensi menimbulkan multitafsir dan ketidakjelasan dalam penerapannya. Selain itu, terdapat beberapa pasal dengan frasa-frasa yang dinilainya belum memiliki kepastian hukum.
“Revisi juga perlu melibatkan akademisi baik ahli pidana maupun ahli bahasa agar menghindari frasa yang multitafsir dan tidak disalahgunakan,” katanya.
Harapannya, keterlibatan akademisi akan melahirkan revisi akan sesuai landasan filosofis, sosiologis dan yuridis yang sesuai dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia Agus Pambagio menyarankan pemerintah untuk mengkaji kembali revisi terbatas terhadap UU ITE. Dia menilai, pemerintah perlu mempertimbangkan revisi terhadap poin bermasalah lainnya yang menjadi sorotan masyarakat.
“Perlu diuji kembali, mempertimbangkan masukan-masukan dari publik yang merasa keberatan dengan pasal multitafsir atau merugikan lainnya. Jangan nantinya revisi terbatas, disahkan, kemudian ada tuntutan lagi, implementasinya nanti malah tidak berjalan dengan baik,” katanya kepada Bisnis, Kamis (10/6).
Adapun, masukan tersebut bisa diperoleh lewat beberapa cara. Salah satunya adalah penyelenggaraan forum virtual yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Lebih lanjut, Agus menyebut revisi UU ITE atau peraturan perundang-undangan lainnya tidak semudah yang dibayangkan. Pasalnya, selama proses perumusannya tidak dilakukan pencatatan perubahan yang diajukan atau masukan-masukan dari pihak yang terlibat di dalamnya.
“Perubahan atau masukan itu yang sebenarnya bisa dijadikan acuan atau dikaji untuk merevisi peraturan perundang-undangan apabila diperlukan,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menyatakan pihaknya menyambut baik rencana pemerintah merevisi UU ITE. Dia berharap pembahasan revisi tersebut tidak berlarut-larut karena perubahannya terbilang sedikit atau hanya beberapa pasal.
“Revisi UU ITE adalah inisiasi pemerintah, terserah pemerintah mau kirim [draf] ke DPR RI, kami siap. Saya maksud cepat itu ketika masuk di DPR RI. Saya harapkan tidak berlarut-larut karena terbatas [revisinya],” katanya di Kompleks Parlemen, Kamis (10/6/2021).
Meutya mengungkapkan revisi terbatas UU ITE saat ini masih memungkinkan untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Karena di pertengahan tahun biasanya dilakukan evaluasi sehingga revisi tersebut bisa dimasukkan ke daftar prioritas penyelesaian.
"Prolegnas itu ditentukan oleh pemerintah dan DPR, nanti pemerintah akan masukkan dari sisi pemerintah Prolegnasnya, silahkan aja,” ujarnya.