Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jelang Putusan, Kubu RJ Lino Minta Hakim Kabulkan Gugatan Praperadilan

KPK seharusnya menerbitkan SP3 untuk kasus RJ Lino karena proses penyidikan yang dilakukan saat ini telah jauh dari prinsip kepastian hukum.
Mantan Dirut Pelindo II RJ Lino usai menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Rabu (6/1/2016) sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan mobile crane di Pelindo II tahun 2013./Antara-Akbar Nugroho Gumay
Mantan Dirut Pelindo II RJ Lino usai menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Rabu (6/1/2016) sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan mobile crane di Pelindo II tahun 2013./Antara-Akbar Nugroho Gumay
Bisnis.com, JAKARTA -- Penasihat hukum mantan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino, Agus Dwiwarsono, berharap pengadilan membatalkan status tersangka dan penahanan yang dilakukan KPK terhadap kliennya.
Agus mengatakan frasa "dapat" pada Pasal 40 ayat (1) UU KPK tahun 2019 yang dipahami oleh KPK sebagai diskresi kewenangan untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) adalah tidak tepat karena KPK telah mengabaikan asas kepastian hukum dan asas penghormatan terhadap HAM. 
Apalagi dalam kasus Lino, KPK telah menelantarkan kasus kliennya selama 5 tahun.
“Putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan apabila penyidikan dan penuntutan yang telah lewat waktu 2 (dua) tahun mestinya di SP3. Mestinya KPK terbitkan SP3 demi penghormatan Hak asasi manusia dan kepastian hukum ini RJ Lino bebas,” tutur Agus dalam keterangan resminya, Selasa (25/5/2021).
Penyidikan terhadap RJ. LINO yang ditetapkan sebagai tersangka terhitung sejak Surat KPK Nomor SPDP-59/23/12/2015, tanggal 21 Desember 2015. Artinya, hingga hari ini telah berjalan selama lebih dari lima tahun dan terbukti tidak pernah ada tindakan dari KPK untuk menerbitkan SP3 atau melimpahkan perkara RJ Lino ke pengadilan untuk diperiksa dan diadili. 
Tidak diterbitkannya SP3 atas penyidikan terhadap RJ. Lino yang perkaranya telah melewati batas waktu dua tahun dan tidak dilimpahkan ke pengadilan merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK tahun 2019.
Agus menuturkan putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, tanggal 25 Januari 2017, menegaskan adanya perubahan sifat delik pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi dari “delik formil” menjadi “delik materiil”. 
Di sisi lain, untuk menentukan adanya kerugian negara diperlukan adanya pernyataan dari BPK untuk menilai dan menyatakan kerugian negara yang nyata dan pasti. Pernyataan tentang kerugian negara hanya dapat dilakukan oleh BPK selaku lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional 
Selain itu terdapat fakta bahwa BPK tidak melakukan penghitungan kerugian negara yang pasti dan nyata padahal sesuai UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 4 tahun 2016 pada Rumusan Hukum Kamar Pidana. 
Dalam kasus ini ternyata KPK menghitung, menilai sendiri, dan menyatakan kerugian keuangan negara US$22.828,94 atas pengadaan QCC Tahun 2010 di PT Pelindo II, yang dilakukan oleh Tenaga Ahli Accounting Forensic pada KPK sebagaimana laporan audit tertanggal 6 Mei 2021. 
“Padahal KPK tidak memiliki kewenangan konstitusional menyatakan (men-declare) kerugian negara, karena itu Tindakan KPK ini merupakan penyalahgunaan wewenang,” papar Agus. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper