Bisnis.com, JAKARTA – Pembelajaran jarak jauh telah berjalan selama setahun terakhir akibat pandemi Covid-19.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makariem menegaskan sekolah wajib memberikan opsi belajar tatap muka terbatas kepada para siswa. Hal itu, menurut Nadiem, dimaksudkan agar Indonesia terhindar dari learning loss.
Nadiem menjelaskan learning loss atau kehilangan satu generasi yang tidak belajar sama sekali rentan terjadi selama PJJ. Itu bisa terjadi mengingat infrastruktur dan fasilitas pendukung peserta didik yang berbeda-beda.
Saat pandemi, pembelajaran jarak jauh berdasarkan data di seluruh dunia keefektifannya menurun. Ada berbagai macam laporan mengenai berbagai macam kendala yang dialami termasuk di Indonesia.
“Ada masalah seperti konektivitas yang tidak bisa diandalkan, masalah tidak punya gawai, itu adalah masalah fundamental sehingga pelaksanaan PJJ pun di berbagai macam daerah sangat sulit dilakukan,” kata Nadiem dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional yang diselenggarakan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP), Rabu (5/5/2021).
Kedua, lanjut Nadiem, dampak psikososial kepada murid.
Nadiem menyebut ada banyak hal yang anak-anak alami seperti kebosanan di dalam rumah, jenuh dengan begitu banyaknya video conference yang mereka lakukan di rumah.
Selain itu, kondisi belajar yang tidak dinamis, kesepian, dan siswa mengalami depresi karena tidak bertemu dengan teman-teman dan gurunya.
Ada juga berbagai macam permasalahan domestik mulai dari stres yang disebabkan terlalu banyak berinteraksi di rumah dan kurang keluar rumah.
Bahkan ada berbagai macam laporan kekerasan domestik yang terjadi di berbagai macam rumah tangga terkait PJJ. Hal ini terjadi di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia.
Kemudian, peningkatan level stres orang tua yang di tengah kesibukannya harus membantu membimbing anak dalam proses pembelajaran jarak jauh.
“Ada berbagai macam faktor yang membuat PJJ ini tidak optimal bagi banyak sekali bagian dari masyarakat kita, apalagi di daerah terluar dan tertinggal di mana infrastruktur dan teknologinya pun kurang memadai,” imbuh Nadiem.
Nadiem mengatakan proses PJJ sudah terlalu lama dan tidak bisa menunggu lagi dan mengorbankan pembelajaran serta kesehatan mental para murid.
“Pada saat ini mungkin enggak banyak orang tahu tapi sebenarnya 25 persen daripada sekolah kita sudah melaksanakan tatap muka, dan angka itu harus bergeser. Protokol kesehtan terhadap pembelajaran tatap muka itu sangat ketat dengan adanya kapasitas maksimal 50 persen dan juga tidak ada aktivitas di luar,” jelas Nadiem.
Meskipun sudah bisa belajar di sekolah, di masa pandemi ini murid tidak perlu mengikuti ekstrakurikuler, tidak ada kantin, masuk sekolah dan langsung pulang.
Kelas pun hanya boleh diisi setengah dari seluruh kapasitas, jadi tidak seluruh siswa dalam satu kelas bisa disatukan di dalam satu ruangan.
“Semua sekolah untuk melakukan tatap muka harus melakukan proses rotasi tentunya, masker itu wajib, fasilitas sanitasi juga wajib, check list-nya sudah sangat jelas,” tambah Nadiem.
Mulai Januari tahun ini sekolah dan Pemda diperbolehkan melaksanakan tatap muka terbatas. Pemerintah pun telah mengambil sikap dengan memprioritaskan guru-guru untuk divaksinasi.
Jika guru sudah menjalani vaksinasi, sekolah diwajibkan membuka opsi tatap muka. Pelaksanaanya disesuaikan dengan kondisi sekolah. Bisa dilakukan itu dua kali seminggu atau tiga kali seminggu, dengan rotasi pagi-sore.
“Keputusan apakah anak itu pergi ke sekolah atau tidak masih ada di orang tua. Jadi kemerdekaan yang berdasarkan level risiko. Kalau orang tua yakin anaknya bisa disiplin, atau orang tua merasakan kesehatan mental anaknya ini sudah sangat rentan, bisa mengembalikan anaknya ke sekolah itu, dan sangat penting bagi kesehatan mental juga pengembangan kognitif anaknya sendiri,” jelas Nadiem.
Nadiem mengatakan pembukaan sekolah tatap muka juga untuk menjawab pertanyaan banyak orang tua yang melihat mal dan pusat hiburan semua sudah dibuka, tapi sekolah tak kunjung buka.
“Bahwa kita tidak bisa menciptakan satu generasi yang mengalami learning loss, yang tidak bisa dibalikkan lagi. Ini menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk orang tua untuk bisa memonitor sekolah dan protokol kesehatan di sekolah,” ungkap Nadiem.