Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Vonis Kasus Kematian Floyd, Saatnya Polisi Tak Berlaku Semena-Mena

Impunitas atau kekebalan hukum bagi polisi untuk bertindak sewenang-wenang tidak lagi mendapat tempat di pengadilan. Paling tidak di Amerika Serikat.
Demonstrasi di Minneapolis, Amerika Serikat pada Selasa (26/5/2020) memprotes kematian George Floyd./Star Tribune via Getty Images-Carlos Gonzalez
Demonstrasi di Minneapolis, Amerika Serikat pada Selasa (26/5/2020) memprotes kematian George Floyd./Star Tribune via Getty Images-Carlos Gonzalez

Bisnis.com, JAKARTA – Vonis terhadap Derek Chauvin, mantan Polisi Minneapolis, Amerika Serikat, terkait kematian George Floyd memberi pesan yang sangat kuat.

Impunitas atau kekebalan hukum bagi polisi untuk bertindak sewenang-wenang tidak lagi mendapat tempat di pengadilan. Paling tidak di Amerika Serikat.

Putusan juri yang menyebutkan bahwa Chauvin bersalah dan semua tuduhan terbukti sekaligus menghapus impunitas selama beberapa dekade untuk sebagian besar kasus kekerasan polisi yang berlebihan.

Tak heran jika saat putusan dibacakan, massa yang berkerumun di dekat TKP bereaksi dengan sorak-sorai dan pelukan.

Vonis, yang disampaikan juri setelah berunding kurang dari 11 jam, dijatuhkan 11 bulan setelah rekaman video kekerasan Chauvin atas Floyd menjadi viral. Tindakan berlebihan polisi itu mengejutkan jutaan orang dan memicu protes nasional yang menyebar ke seluruh dunia.

Kematian yang memicu gerakan Black Lives Matter, yang sebetulnya sudah berlangsung bertahun-tahun atas kasus pembunuhan sebelumnya oleh polisi dan warga kulit putih lainnya, menarik dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya.  

Bahkan, warga kulit putih pun ikut berbaris dalam gelombang aksi yang berlangsung berminggu-minggu saat musim panas lalu.

Kematian Floyd memicu perdebatan tentang ketidaksetaraan yang lebih luas dan rasisme yang dilembagakan dalam segala bentuknya, termasuk di perusahaan Amerika.

Kemarahan telah meningkat sejak kematian remaja Florida Trayvon Martin tahun 2012 di tangan seorang anggota pengawas lingkungan. Dua tahun kemudian terjadi pembunuhan oleh polisi atas Michael Brown di Ferguson, Missouri.

Beberapa bulan sebelum kematian Floyd, pria kulit putih di Georgia menembak Ahmaud Arbery saat dia berlari, dan polisi Kentucky membunuh Breonna Taylor di rumahnya setelah membangunkan dia dan pacarnya dalam penggerebekan kasus obat terlarang.

Kasus kematian yang terjadi dan banyak lainnya menyebabkan seruan untuk keadilan. Pembunuhan Floyd, ketika korban justru sedang memohon belas kasihan kepada polisi, menjadi bahan bakar  yang memicu kemarahan nasional.

"Keadilan yang diperoleh dengan menyakitkan telah diperoleh keluarga George Floyd," ujar Ben Crump, pengacara yang menjadi kepala tim kuasa hukum keluarga Floyd, dalam sebuah pernyataan.

Crump mengatakan dampak putusan itu melampaui wilayah Minneapolis dan akan memiliki "implikasi signifikan bagi negara dan bahkan dunia."

Insiden mematikan itu terjadi setelah Chauvin dan petugas lainnya menanggapi panggilan darurat  dari sebuah toko serba ada. Seorang pegawai took mengatakan Floyd telah mencoba menggunakan uang kertas $20 palsu.

Rekaman kamera menunjukkan kepada juri bahwa Floyd menjadi gelisah ketika petugas mendekatinya dengan senjata terhunus.

Floyd berteriak bahwa dia takut ditembak. Ketegangan meningkat setelah petugas berusaha memasukkannya ke dalam mobil patroli.

Floyd berteriak bahwa dia menderita sesak dan tidak bisa bernapas. Petugas menjatuhkannya ke tanah, dan masyarakat yang menyaksikan adegan itu merekam bagaimana Chauvin berlutut di leher Floyd. Nadi Floyd tidak lagi berdenyut ketika paramedis tiba di lokasi.

Toko di sudut East 38th Street dan Chicago Avenue sekarang menjadi tugu peringatan yang menarik pengunjung dari seluruh negeri. Mereka datang untuk memberi penghormatan kepada Floyd.

Kemarahan Dunia

Tragedi kematian George Floyd tak hanya berdampak di Amerika Serikat. Hal terekam pada saat-saat aksi massa menentang rasialisme terkait kematian Floyd menggema di seluruh dunia.

Sejumlah orang mengungkapkan kemarahan atas praktik sikap rasialis, termasuk pada penempatan patung yang dinilai merendahkan warga kulit berwarna.

Di Inggris, seperti ditulis Tempo.co mengutip dailly miror, Lembaga National Trust sampai harus memindahkan patung seorang pria berkulit hitam, yang sedang berlutut, dari salah satu properti yang dikelolanya.

Patung itu dianggap sebagai perwakilan orang Afrika dan berada di posisi di depan rumah ala Georgia di Dunham Massey di Cheshire, Inggris.

“Patung itu telah menimbulkan kemarahan dan kekecewaan karena caranya mengekspresikan seorang pria kulit hitam dan letaknya terlihat menonjol di depan rumah itu,” kata seorang juru bicara National Trust seperti dilansir Mirror, Jumat, 12 Juni 2020.

Juru bicara ini juga menambahkan,”Kami tidak ingin menyensor cara sejarah kolonial masuk ke dalam pembangunan gedung milik kami.”

Juru bicara National Trust mengatakan patung ini dipindahkan ke lokasi baru.

“Kami juga membuat rencana untuk mengakui secara penuh sejarah mengerikan dari perbudakan dan perdagangan budak,” kata dia.

National Trust adalah lembaga donatur independen yang memperhatikan warisan sejarah dan perlindungan lingkungan hidup di Inggris.

Sedangkan patung pria kulit hitam itu dibuat pada 1735 oleh seorang pematung bernama Andries Carpenter.

Patung dibuat dengan gaya Blackmoor, yang kerap menggambarkan pria kulit hitam secara eksotis dan dalam sikap sebagai pelayan.

Saat ini, gaya seni patung ini dianggap sebagai bentuk rasisme dan dianggap tidak sensitif secara budaya.

Tak urung, pemindahan patuh itu juga menimbulkan keprihatinan.

Akun Twitter @janblin mengekspresikan keprihatinannya karena pemindahan patung itu terjadi di tengah ancaman orang-orang yang terbatas pengetahuannya tentang sejarah di balik patung tersebut. 

Seperti ditulis Altrincham Today, protes akibat kematian Floyd di Amerika Serikat telah membuat patung yang dibuat awal tahun 1700-an itu menjadi sorotan.

Meskipun sosok Afrika yang berlutut dikatakan sebagai "orang Moor", bukan budak, juru bicara National Trust - yang memiliki Dunham Massey - mengatakan telah memutuskan untuk memindahkannya.

Patung itu menggambarkan sosok Afrika yang sedang berlutut, mengenakan rok dari bulu atau daun dan membawa jam matahari di atas kepalanya.

Sebuah plakat yang dekat dengan patung itu berbunyi: “Jam matahari ini bergaya seperti yang ditugaskan oleh Raja William III. Ini mewakili Afrika, satu dari empat benua yang dikenal saat itu. Sosok itu menggambarkan orang Moor, bukan budak, dan dia telah berlutut di sini sejak sebelum 1750. ”

"Moor" berasal dari "Blackamoor", gaya seni Eropa yang menggambarkan tokoh-tokoh, biasanya laki-laki Afrika, dalam bentuk patuh atau eksotis.

Istilah "Blackamoor" sekarang umumnya dianggap rasis dan tidak sensitif secara budaya.

"Kami tidak ingin menyensor atau menyangkal cara sejarah kolonial terjalin ke dalam struktur bangunan kami," ujar sang jubir.

"Karena alasan ini, kami telah memutuskan untuk memindahkannya dengan aman dari lokasi sebelumnya sementara kami membuat rencana untuk mengatasinya dengan cara yang sepenuhnya mengakui sejarah perbudakan dan perdagangan budak yang mengerikan," ujarnya.

Menurut Historic England, patung batu seukuran aslinya - dengan jam matahari dari logam - berasal dari awal 1700-an, dan diperkirakan dibuat oleh pematung Andries Carpentière.

Di luar keprihatinan atas pemindahan patung itu, akun @janblim juga mengugah ajakan untuk mendukung petisi tentang perlunya mengajarkan kepada anak-anak Inggris soal perbudakan yang terjadi.

Gelombang unjuk rasa bermunculan di sejumlah negara Barat seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia. Semua meneriakkan hal yang sama, memprotes pembunuhan seorang pria kulit hitam oleh seorang polisi kulit putih di Minneapolis, AS. 

Publik dunia tidak akan lupa bagaimana seorang pria kulit hitam bernama George Floyd ditangkap seorang polisi kulit putih bernama Derek Chauvin, yang menindih leher belakang Floyd selama sekitar 9 menit.

Itulah detik-detik terakhir dari hidup Floy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Saeno
Editor : Saeno
Sumber : Bloomberg/Termpo.co/mirror/altrincham.today
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper