Bisnis.com, JAKARTA - Vaksin Nusantara kembali menuai pro-kontra di masyarakat. Yang terbaru, beberapa anggota DPR RI dan politisi beramai-ramai mencoba Vaksin Nusantara besutan Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto di RSPAD Gatot Soebroto, Rabu (14/4/2021).
Padahal, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum memberikan rekomendasi kepada peneliti Vaksin Nusantara untuk melakukan uji klinis lanjutan. Ahli Biologi Molekuler Ahmad Rusdan Utomo angkat bicara terkait perdebatan Vaksin Nusantara, khususnya di media sosial.
Dia mendapat informasi bahwa banyak pihak menyatakan dukungan terhadap Vaksin Nusantara dan menyayangkan keributan yang terjadi karena seharusnya semua komponen bangsa mendukung produk inovasi anak bangsa.
Melalui akun Twitter resmi miliknya @PakAhmadUtomo, dia menjabarkan permasalahan yang terjadi dalam uji klinis Vaksin Nusantara, termasuk soal alasan pemerintah mempersulit inovasi karya anak bangsa.
"Pertama, bukan inovasi anak bangsa. Inovasinya berasal dari Amerika oleh peneliti Amerika dari perusahaan biotek komersil di Amerika. Tim Dr Terawan tidak menceritakan keutuhan teknologi ini dan cenderung menamainya ‘nusantara’ yang sebenarnya tidak akurat," tulisnya seperti dikutip dari akun @PakAhmadUtomo, Kamis (15/4/2021).
Catatan wawancara Elshinta dengan saya tentang vaknus
— Pak Ahmad (@PakAhmadUtomo) April 15, 2021
Komentar dari pendengar:
1) Mayoritas pendengar menyatakan dukungan terhadap vaknus dan menyayangkan keributan yang terjadi, seharusnya semua komponen bangsa mendukung produk inovasi anak bangsa https://t.co/wmBoA0vlhe
Dia menuturkan penggunaan sel dendrit yang dikultur di laboratorium membutuhkan fasilitas mahal. Menurut BPOM, fasilitas di RS Dr. Kariadi Semarang belum memenuhi standar GMP atau good manufacturing practise yang mutlak diperlukan dalam pembuatan vaksin yang personal karena ancaman adanya kontaminasi kuman.
Baca Juga
Lebih lanjut, Ahmad Utomo menilai respon imun vaksin dendrit cenderung menimbulkan imunitas seluler bukan imunitas humoral (pembentukan antibodi). Dalam tahap uji klinis fase 1 yang lalu, lanjutnya, tidak jelas berapa persentase relawan yang memunculkan antibodi padahal antibodi penting untuk menyergap virus.
Dia juga melayangkan kritik tidak transparannya Tim Vaksin Nusantara dalam memaparkan data.
"Data tidak transparan. Hingga kini ilmuwan independen seperti saya tidak bisa mengakses data hasil uji klinis fase 1. Padahal dalam pengembangan vaksin covid lainnya, semua melaporkan dan mempublikasikannya secara luas sehingga bisa dianalisa oleh ilmuwan lainnya," jelasnya.
Apabila memang benar mayoritas relawan uji klinis fase 1 memunculkan neutralizing antibodi, kata dia, maka ini menjadi tidak lazim karena umumnya produksi vaksin dendrit memunculkan respon seluler bukan humoral (antibodi) maka tentu perlu penjelasan kok bisa berbeda dari kelaziman.
Terakhir, dana milik pemerintah terbatas. Apalagi, saat ini ilmuan Indonesia sedang mengembangkan inovasi Vaksin Merah Putih.
Dia menilai ilmuwan nasional tentu mendukung sesama ilmuwan yang berdasarkan kepada teknologi dan data yang bisa dipertanggungjawabkan.
"Maka prioritaskan pendanaan vaksin Merah Putih," ucapnya.