Bisnis.com, JAKARTA -- Penghentian penyidikan atau SP3 perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjerat Sjamsul Nursalim adalah yang pertama sejak revisi Undang-Undang KPK.
Seperti diketahui Pasal 40 UU No.19/2019 tentang KPK memberikan kewenangan kepada lembaga antirasuah untuk menghentikan perkara yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam waktu 2 tahun.
"Hari ini kami menghentikan penyidikan tersangka SN dan ISN," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada Kamis (1/4/2021).
Adapun beralasan SP3 atas kasus Sjamsul Nursalim dilakukan untuk memberikan kepastian hukum. Apalagi, salah satu terdakwa kasus yang sama yakni Syafruddin Temenggung, telah lolos dari jerat hukum di tingkat Mahkamah Agung (MA).
Dalam catatan Bisnis, Sjamsul Nursalim sampai dengan awal Januari 2021 masih berstatus buronan KPK. Dia menjadi buron paling dicari KPK bersama dengan 6 orang lainnya, salah satunya Harun Masiku.
Sjamsul Nursalim adalah salah satu tersangka kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dia adalah pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), salah satu obligor BLBI.
Audit investigatif yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menetapkan pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI telah merugikan negara senilai Rp4,58 triliun.
Hasil audit ini kemudian dipakai KPK untuk menjerat eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN, Syafruddin Temenggung.
Dalam surat dakwaan No.40/TUT.01.04/24/05/2018, lembaga anti korupsi ini menyebut, penghapusan piutang BDNI kepada petambak serta penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham telah menguntungkan Sjamsul Nursalim sejumlah Rp4,58 triliun.
Jumlah itu sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif BPK Nomor: 12/LHP/XXI/08/2017 tanggal 25 Agustus 2017. Namun dalam perkembangannya kasus ini rupanya memantik polemik. Di pengadilan tingkat pertama, Syafruddin memang pernah divonis KPK selama 13 tahun penjara.
Pada tahun 2019, di tingkat banding hukuman Syafruddin diperberat menjadi 15 tahun penjara. Kejutan terjadi pada Juli 2019, putusan kasasi di Mahkamah Agung justru membebaskan Syafruddin dari hukuman, meskipun MA mengakui bahwa dakwaan KPK sama sekali tidak salah.
Hanya saja MA waktu itu berpandangan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Syafruddin bukan merupakan suatu tindak pidana.