Bisnis.com, JAKARTA - Sebanyak 96 warga negara Indonesia (WNI) telah memutuskan untuk segera meninggalkan Myanmar, karena demonstrasi yang diwarnai kekerasan terus berlanjut menyusul kudeta yang dilakukan militer negara itu pada 1 Februari lalu.
“Pada Maret saja, tercatat 96 WNI yang sudah lapor ke KBRI (Yangon) akan pulang sampai akhir bulan ini,” kata Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha di Jakarta, Rabu malam (24/3/2021).
Jumlah tersebut, kata Judha, tidak termasuk 50 WNI yang sebelumnya telah pulang ke Tanah Air menggunakan penerbangan yang diperbantukan, di tengah demonstrasi antikudeta di Myanmar. Dengan demikian, total WNI yang memutuskan meninggalkan Myanmar 146 orang.
Berdasarkan data Kemlu RI, saat ini tercatat 362 WNI, yang mayoritas pekerja profesional, masih berada di Myanmar.
Sebanyak 20 orang di antaranya telah berada di Sekolah Indonesia Yangon, yang diperuntukkan sebagai lokasi perlindungan sementara bagi para WNI.
Judha mendesak para WNI yang merasa lokasi tempat tinggalnya tidak aman dan nyaman, untuk segera merapat ke Sekolah Indonesia Yangon yang situasinya relatif aman karena terletak di wilayah diplomatik.
Baca Juga
Namun, ia menegaskan, bahwa Pemerintah Indonesia belum memutuskan untuk melakukan evakuasi karena berdasarkan penilaian di lapangan, tidak ada warga negara asing termasuk WNI yang menjadi sasaran kekerasan selama demonstrasi.
Mengingat demonstrasi dan kekerasan masih terus berlangsung, pemerintah mengimbau WNI untuk terus waspada, tidak keluar rumah jika tidak ada kepentingan mendesak, menyiapkan stok bahan makanan untuk satu hingga dua minggu ke depan, serta selalu menjalin kontak dengan KBRI.
“Bagi WNI yang tidak memiliki kepentingan mendesak di Myanmar, kami minta untuk mempertimbangkan pulang ke Indonesia,” ujar Judha.
Saat ini tersedia dua penerbangan yaitu dengan maskapai Singapore Airlines dan Myanmar Airlines, yang merupakan bagian dari penerbangan yang diperbantukan untuk memfasilitasi warga negara asing keluar dari Myanmar.
Sebelumnya pada Selasa (23/3/2021) militer Myanmar mengumumkan 164 pengunjuk rasa dan sembilan anggota pasukan keamanan tewas dalam demonstrasi yang meluas di negara itu.
Menyebut bahwa demonstran melakukan pembakaran dan kekerasan, militer menolak mengakui bahwa unjuk rasa tersebut dilakukan secara damai.
Sementara itu, kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan sedikitnya 261 orang telah tewas akibat tindakan keras oleh pasukan keamanan selama unjuk rasa antikudeta.
Junta mencoba untuk membenarkan kudeta yang mereka lakukan dengan mengatakan bahwa pemilu pada November 2020, yang dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi, curang.
Para pemimpin militer telah menjanjikan pemilu ulang, tetapi belum menetapkan tanggal. Mereka juga memberlakukan keadaan darurat selama satu tahun di Myanmar.