Bisnis.com, JAKARTA - Amnesty International menuding militer Myanmar menggunakan senjata untuk medan perang dan kekuatan mematikan dalam menangani pengunjuk rasa terhadap kudeta yang terjadi bulan lalu.
Kelompok pembela hak asasi itu mengatakan telah membuktikan kebenaran lebih dari 50 video penanganan unjuk rasa itu. Perserikatan Bangsa Bangsa atau PBB sebelumnya menyatakan bahwa pasukan keamanan telah menewaskan sedikitnya 60 pengunjuk rasa.
Amnesty International pun mengatakan banyak pembunuhan yang didokumentasikan sama dengan eksekusi di luar hukum. Namun, juru bicara junta belum merespons ketika dimintai komentar. Sementara itu, tentara mengatakan tanggapannya terhadap protes telah ditahan.
Junta mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari, menahan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan memicu protes harian di seluruh Myanmar yang terkadang menarik ratusan ribu orang turun ke jalan.
Amnesty menuduh tentara menggunakan senjata yang cocok untuk medan perang untuk membunuh pengunjuk rasa. Amnesty mengatakan bahwa mereka berada di tangan unit-unit yang dituduh oleh kelompok hak asasi itu bertahun-tahun melakukan kekejaman terhadap kelompok etnis minoritas, termasuk Muslim Rohingya.
"Ini bukanlah tindakan kewalahan, petugas membuat keputusan buruk. Inilah para komandan yang tidak menyesal telah terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, mengerahkan pasukan dan metode pembunuhan di tempat terbuka," kata Joanne Mariner, Direktur Tanggapan Krisis di Amnesty International.
Baca Juga
Amnesty mengatakan senjata yang digunakan termasuk senapan runduk dan senapan mesin ringan, serta senapan serbu dan senapan sub-mesin.
Amnesty menyerukan penghentian pembunuhan dan pembebasan tahanan. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan hampir 2.000 orang telah ditahan sejak kudeta.
Dalam membenarkan pengambilalihannya, tentara Myanmar menyebut dugaan kecurangan dalam pemilihan November yang dimenangkan oleh partai Suu Kyi. Tuduhannya telah dibantah oleh komisi pemilihan.