Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pers meminta pemerintah memperketat aturan platform digital. Platform digital disebut bertanggung jawab mengawasi konten bermuatan negatif.
Selain itu, pemerintah juga diharapkan memiliki komitmen dan serius dalam merivisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Saat focus group discussion asosiasi pers dengan Tim Kajian Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sejumlah asosiasi pers hadir seperti Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen hingga Dewan Pers.
Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut menilai plarform digital seharusnya urut bertanggung jawab mengawasi konten bermuatan negatif.
Pasalnya hampir 90 persen konten media sosial, kata dia, didistribusikan oleh platform digital. Dia khawatir konten negatif di media sosial juga akan masuk dan tersebar di platform digital.
“Maka kebencian sudah menjelma menjadi produk yang laku dijual, karena yang nonton banyak, engagement kebencian dan hoax itu tinggi sekali,” katanya seperti dikutip dari keterangan resmi Kemenko Polhukam, Kamis (11/3/2021).
Baca Juga
Ddiamenjelaskan bahwa video yang memuat pesan kebencian dan provokatif seringkali cepat viral dan ditotonton banyak orang dan mendapatkan iklan. Dengan begitu, tegasnya, konten tersebut sudah menjelma menjadi produk.
“Bayangkan kalo yang kita atur hanya orang yang bikin videonya tanpa mengatur platfomnya. Yang bikin video kita tangkap, platformnya tetap untung karena videonya tetap ditonton oleh ribuan orang,” terangnya.
Sementara itu, perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim berharap pemerintah memiliki komitmen dan serius dalam merivisi UU ITE. Pasalnya dalam tiga tahun terakhir AJI mencatat 25 kasus kriminalisasi Jurnalis yang berkaitan dengan beleid tersebut.
“Kalau berkaca dari kasus-kasus yang dialami oleh teman-teman jurnalis, ini sudah sangat mengganggu kerja jurnalisme, padahal dalam melakukan kerja Jurnalisme, sudah dilindungi oleh Undang-undang,” terangnya.
Anggota Dewan Pers Imam Wahyudi menilai azas dan tujuan UU ITE sejatinya sangat mulia bahkan sejalan dengan prinsip jurnalisme yaitu kemaslahatan publik. Kendati demikian dalam prakteknya, UU ITE justru menjadi momok menakutkan.
Dia berharap UU ITE tidak hanya direvisi, juga tidak lagi mengancam kebebasan pers. Beberapa pasal yang masuk catatannya adalah pasal 27.
“Pasal 27 UU ITE adalah monster yang kemudian selama ini bukan hanya menghantui namun seperti dementor di film Harry Potter, benar-benar menghisap bukan hanya ke penjara namun juga nyali mereka karena ada pasal 27 ayat 3 dan juga pasal 28 dan pasal 40 soal ancamannya.” terang Imam.
Sementara itu, Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin menyebut kebebasan pers menjadi amanat konstitusi. Bahkan keberadaanya diakui dan dijamin undang-undang. Namun prakteknya masih banyak ditemukan regulasi yang semangatnya bertentangan dengan UU Pers, salah satunya adalah UU ITE.
“UU ITE dianggap menjadi salah satu penghambat kebebasan pers, meskipun UU ITE diklaim tidak menyasar Pers, namun nyatanya terdapat banyak kasus wartawan yang dijerat dengan UU ITE bahkan hingga divonis bersalah oleh Hakim,“ tegasnya
Di sisi lain, Ketua Tim Kajian UU ITE Sugeng Purnomo menilai masukan dan pemikiran insan dan asosiasi pers sangat diperlukan tim kajian untuk memperkaya informasi dan pandangan.
“Hal yang sangat menarik adalah bahwa tidak bisa dipungkiri di alam demokrasi peran dari teman-teman media sangat berguna dalam memberikan informasi. Kita menghadirkan para narasumber untuk kita dengar, apa yang menjadi pemikiran para narasumber untuk kita catat dan nanti kita diskusikan. Semoga tim dapat menyelesaikan tugas dengan baik,” tuturnya.