Bisnis.com, JAKARTA - Sepekan terakhir ini Partai Demokrat menjadi buah bibir. Apalagi, kalau bukan kongres luar biasa (KLB), Jumat (5/3/2021) di Sibolangit, Deli Serdang Sumatra Utara, memutuskan Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat untuk periode 2021-2026.
Hasil KLB seolah-olah membenarkan isu kudeta untuk menggulingkan Ketua Umum Partai Demokrat Mayor Inf. Purnawirawan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang bergulir pada Februari lalu.
Sosok Moeldoko yang menjabat sebagai Kepala Kantos Staf Kepresidenan (KSP) menimbulkan dualisme kepemimpinan di Partai Demokrat.
Uniknya, keduanya adalah eks perwira TNI Angkatan Darat (AD). Bedanya, Moeldoko adalah eks Panglima TNI berpangkat jenderal, sementara AHY berpangkat mayor.
AHY--berusia 42 tahun--memang memilih pensiun dini dari korps TNI AD saat mencalonkan diri sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017. Dia berpasangan dengan Sylviana Murni menantang pasangan calon (paslon) Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, dan paslon Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Keberuntungan masih jauh dari AHY-Sylviana. Pasangan ini hanya bertarung pada putaran pertama Pilgub DKI 2017, sementara Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga melaju ke putaran kedua.
Baca Juga
Setelah meninggalkan korps baret hijau, AHY berkecimpung di bidang politik, hingga akhirnya menjadi Ketua Umum Partai Demokrat pada Kongres V Partai Demokrat 2020 di JCC Senayan, Jakarta, Minggu (14/3/2020).
Putra sulung Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini menjadi orang kelima yang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Sebelumnya, mereka yang pernah memimpin Partai Demokrat adalah Subur Budhisantoso (2001-2005), Hadi Utomo (2005 - 2010), Anas Urbaningrum (2010 - 2013), dan SBY (2013 - 2020).
Kudeta
Kemelut Demokrat dimulai pada awal Februari lalu, ketika AHY mengumumkan adanya gerakan pengambilalihan partai yang dimotori oleh kader senior, mantan kader, dan seseorang di lingkaran pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pengambilalihan posisi ketua umum itu disinyalir untuk kendaraan bagi yang bersangkutan sebagai calon presiden dalam pemilu 2024.
Belakangan, terungkap nama Jhoni Allen Marbun, Darmizal, Muhammad Nazaruddin, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sebagai aktor kudeta.
Padahal, saat isu kudeta posisi AHY, Moeldoko dengan tegas membantah, bahwa dirinya hendak mengambil alih Partai Demokrat dari kepemimpinan AHY. Bahkan, mengaku prihatin atas situsasi yang saat ini dihadapi Demokrat.
Faktanya, Moeldoko kini sebagai Ketua Umum Partai Demokrat hasil KLB di Sibolangit. AHY dan 34 pimpinan daerah (DPD) pun melaporkan KLB di Sibolangit sebagai perbuatan melawan hukum ke Kementerian Hukum dan HAM, juga ke Komisi Pemilihan Umum.
KLB dinilai tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) partai. Kalau merujuk pada AD/ART 2020, KLB harus atau wajib dilaksanakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat.
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dan 34 DPD Partai Demokrat melaporkan Kongres Luar Biasa (KLB) Demokrat di Sibolangit Sumatra Utara ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), Senin (8/3/2021). AHY diterima PLT Ketua KPU Ilham Saputra dan jajarannya.JIBi/Bisnis-Nancy Junita @agusyudhoyono.
Sikap Pemerintah Dipertanyakan
Pada hari yang sama, kubu Marzuki Alie menggugat AHY ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Marzuki Alie cs meminta majelis hakim PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatannya dan membatalkan keputusan pemecatan kader-kader yang berseberangan dengan Demokrat kubu AHY.
Konflik ini membuat pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai, pemerintah bersikap dua kaki dalam merespons kisruh Partai Demokrat.
Pemerintah tak menunjukkan sikap tidak setuju terhadap KLB Deli Serdang, juga tak mengabaikan legalitas kepengurusan AHY. Maka, netralitas pemerintahan Jokowi diuji dalam menyikapi polemik Partai Demokrat ini.
Pola yang sama pernah terjadi dalam kisruh dualisme Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, hingga Partai Keadilan Sejahtera, tapi polemik yang dialami Demokrat ini lebih mirip dengan yang terjadi pada PPP dan PKB. Dia menyebut, ada potensi negara terlalu jauh ikut campur hingga merugikan partai politik terkait.
"Kalau kita lihat peran negara ada, KSP terlibat. Mau tidak mau, tidak mungkin menafikan tuduhan Istana terlibat memelihara konflik ini," kata Feri.
Bukan tak mungkin KLB Demokrat adalah bagian untuk menempatkan partai berlogo Mercy itu dalam konflik tak berkesudahan. Imbasnya, partai politik akan dirugikan, misalnya kehilangan fokus hingga tak dapat mengikuti pemilihan, suara anjlok, dan sebagainya. Selain merugikan partai politik, hal itu akan merugikan publik pemilih partai tersebut.
Sikap pemerintah yang tak netral akan berbahaya bagi demokrasi serta tatanan koalisi dan oposisi. Hal ini mengingat Demokrat saat ini adalah satu dari dua partai oposisi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan tujuh fraksi lainnya merupakan koalisi pendukung pemerintah.
Maka, pemerintah harus menjalankan ketentuan sesuai yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.