Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami bukti terkait dugaan pembelian tanah oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menggunakan uang dari para eksportir benih lobster atau benur.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan uang untuk membeli tanah dari para eksportir dipercayakan Edhy Prabowo kepada Amiril Mukminin. Diketahui, Edhy dan Amiril adalah tersangka dalam kasus suap izin ekspor benur.
"Penyidik masih terus mendalami terkait pengelolaan sejumlah uang yang dipercayakan oleh tersangka EP (Edhy Prabowo) kepada saksi (Amiril Mukminin) yang diantaranya juga diduga digunakan untuk pembelian aset berupa tanah," kata Ali, Sabtu (6/2/2021) malam.
Ali mengatakan KPK masih menduga sumber uang pembelian tanah tersebut berasal dari para ekspoktir benur yang mendapatkan izin ekspor di KKP
KPK sempat mendalami pembelian tanah ini. Lembaga antikorupsi menduga, Edhy Prabowo, membeli tanah menggunakan uang haram hasil suap izin ekspor benih lobster atau benur di Kementerian Keluatan dan Perikanan (KKP).
Pembelian tanah dengan hasil suap yang dilakukan Edhy diketahui saat tim penyidik memeriksa saksi Makmun Saleh, seorang pensiunan yang tidak dijelaskan lengkap oleh KPK.
"Makmun Saleh di dalami pengetahuannya terkait adanya dugaan transaksi pembelian tanah oleh tersangka EP. Didalami juga terkait pengetahuan saksi mengenai dugaan sumber uang untuk pembelian tanah tersebut dari para ekspoktir benur yang mendapatkan persetujuan izin ekspor dari tim khusus yang dibentuk oleh EP," kata Ali, Jumat (29/1/2021).
Adapun, KPK menetapkan 7 orang tersangka dalam kasus dugaan suap terkait perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.
Mereka adalah Edhy Prabowo, mantan staf khusus Menteri KKP Syafri dan Andreu Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, staf istri Menteri KKP Ainul Faqih, dan Amiril Mukminin sebagai penerima suap.
"Sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.
Sementara itu, sebagai pemberi suap, KPK menetapkan Suharjito yang merupakan Direktur PT DPP sebagai tersangka.
Suharjito disangkakan melanggar melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.