Bisnis.com, JAKARTA - Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam laskar FPI menyampaikan tujuh tuntutan kepada pemerintah. Salah satunya ialah meminta agar Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit mencopo Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran.
TP3 menyebut pembunuhan enam orang Laskar FPI oleh aparat merupakan pelanggaran HAM berat.
Salah satu inisiator TP3 Marwan Batubara mengatakan bahwa proses penyelidikan peristiwa pembunuhan terhadap 6 warga sipil tersebut masih jauh dari harapan. Justru hasil lidik cenderung berlawanan dengan kondisi objektif dan fakta di lapangan.
Menurutnya, baik Polri maupun Komnas HAM telah memberikan laporan penyelidikan yang dapat dianggap menggiring opini menyesatkan dan menutupi kejadian sebenarnya.
“Kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa pembunuhan terhadap enam laskar FPI merupakan pembunuhan secara langsung terhadap penduduk sipil oleh parat negara yang didahului dengan penyiksaan dan dilakukan secara sistematik,” kata Marwan dalam keterangan resmi seperti dikutip dari Youtube Refly Harun, Selasa (2/2/2021).
TP3 menyebutkan bahwa kejadian tersebut memenuhi kriteria sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity, sehingga merupakan pelanggaran HAM berat sesuai Pasal 9 UU No 26/2000 tentang pelanggaran HAM.
Kejahatan sistematik tersebut lanjutnya disadarkan pada prakondisi operasi kontra propaganda oleh pemerintah melalui penggalangan opini, politik adu domba dan belah bambu di antara umat dan rakyat.
Oleh sebab itu, TP3 mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memerintahkan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit memberhentikan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran sebagai anggota Polri.
"Sehingga proses hukum kasus pembunuhan enam laskar FPI dapat dilakukan secara objektif, terbuka dan berkeadilan," ujar Marwan.
Selain itu, TP3 juga menyampaikan enam tuntutan lainnya terkait tewasnya enam Laskar FPI yaitu menuntut agar nama-nama pelaku pembunuhan enam anggota laskar FPI yang dilaporkan Komnas HAM kepada Presiden RI untuk segera diumumkan.
Kemudian, menuntut Presiden sebagai kepala pemerintahan untuk ikut bertanggung jawab atas tindakan sewenang-wenang aparat negara dalam peristiwa pembunuhan tersebut.
Selanjutnya, mendesak DPR untuk membentuk panitia khusus atau Pansus guna menyelidiki kasus pembunuhan dan pembantaian enam laskar FPI yang diduga kuat bukan sekadar pembunuhan biasa tapi berhubungan dengan persoalan politik kekuasaan.
Berikutnya, mendukung tim advokasi yang telah melakukan pelaporan kepada International Criminal Court [Mahkamah Pidana Internasional] di Den Haag dan Committee Against Torture di Jenewa serta mendesak kedua lembaga internasional tersebut untuk segera melakukan langkah penyelidikan termasuk pemanggilan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pembantaian enam laskar FPI sebagai tindak lanjut dari pelaporan tim advokasi tersebut.
TP3 juga menuntut negara bertanggung jawab kepada para korban dan keluarganya sesuai Pasal 7 UU No 31/2014 tentang Perubahan atas UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam bentuk memberikan keadilan kepada para korban dengan menghukum para pelaku pelanggaran; meminta maaf kepada para korban dan keluarganya dengan mengakui adanya pelanggaran HAM berat.
Kemudian, TP3 juga menuntut negara memberikan layanan medis dan psikososial dengan cuma-cuma dan serta merta untuk korban lain yang masih hidup; memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya melalui fasilitas dari Lembaga Perlindungan saksi dan korban; merehabilitasi nama baik para korban yang sudah tewas dari labeling dan stigma yang dituduhkan kepada mereka secara sewenang-wenang.
Terakhir, TP3 menuntut para pelaku pembunuhan 7 Desember 2020 untuk memberikan ganti rugi oleh pelaku kepada para korban dan keluarganya sesuai Pasal 7 UU No 31/2014 tentang Perubahan atas UU No 13/2006 tentang Perlindungan saksi dan korban.