Bisnis.com, JAKARTA - Manuver udara yang dilakukan militer China dalam sepekan terakhir di Laut China Selatan dinilai terbilang agresif.
Penilaian itu langsung datang dari militer Amerika Serikat (AS). Aksi tersebut disebut sebagai perilaku yang tidak stabil dan agresif, meski tidak menimbulkan ancaman bagi armada Angkatan Laut AS di kawasan tersebut.
"Kelompok Kapal Induk Theodore Roosevelt memantau dengan cermat semua aktivitas Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLAN) dan Angkatan Udara (PLAAF) China, dan tidak pernah menjadi ancaman bagi kapal, pesawat, atau pelaut Angkatan Laut AS," demikian pernyataan Komando Pasifik Militer AS, Jumat (29/1/2021).
Sebelumnya, Taiwan melaporkan bahwa beberapa pesawat Angkatan Udara China terbang ke sudut barat daya zona identifikasi pertahanan udaranya pada akhir pekan lalu, dekat Kepulauan Pratas yang dikuasai Taiwan, termasuk jet tempur dan pembom H-6 berkemampuan nuklir.
Sumber-sumber keamanan dan diplomatik regional yang mengetahui situasi tersebut mengatakan angkatan udara China dikirim untuk misi mulai 23 Januari, bertepatan dengan kelompok kapal induk AS yang lewat di selatan Pratas.
China, yang telah lama mengarahkan militernya untuk mempertahankan diri melawan AS, melakukan latihan yang akan menyimulasikan operasi terhadap kapal induk, kata sumber tersebut.
Baca Juga
"Mereka dengan sengaja melakukan latihan saat kapal induk AS melewati Selat Bashi," kata satu sumber, merujuk pada jalur air antara Taiwan selatan dan Filipina utara.
"Itu tidak hanya dimaksudkan untuk Taiwan. Yang terpenting, China sedang mencoba untuk mengatasi masalah Laut China Selatan, mereka ingin menghentikan militer AS memasuki Laut China Selatan. China ingin mengurangi pengaruh AS di Pasifik barat."
Sumber itu berbicara kepada Reuters dengan syarat anonim karena mereka tidak berwenang untuk berbicara dengan media. Kementerian Pertahanan China tidak segera menanggapi permintaan komentar dari Reuters.
Namun, pada Kamis (28/1/2021), kementerian tersebut memperkuat tekanan terhadap Taiwan yang diklaim China, dengan memperingatkan setelah peningkatan aktivitas militer akhir pekan lalu di dekat pulau itu bahwa 'kemerdekaan berarti perang' dan bahwa angkatan bersenjatanya bertindak sebagai tanggapan atas provokasi dan campur tangan asing.
China mengklaim hampir semua perairan Laut Cina Selatan yang kaya energi, tempat negara itu telah mendirikan pos-pos militer di pulau-pulau buatan. Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga memiliki klaim atas sebagian laut tersebut.
Wilayah perairan itu telah menjadi sumber konflik dalam hubungan China-AS. Washington terus menuduh Beijing melakukan militerisasi di Laut China Selatan dan mencoba mengintimidasi tetangga Asia yang mungkin ingin mengeksploitasi cadangan minyak dan gasnya yang luas.
Sebaliknya, China berulang kali menyatakan kemarahan terhadap aktivitas militer AS di wilayah tersebut, dengan mengatakan bahwa tindakan seperti itu tidak kondusif untuk perdamaian dan stabilitas kawasan.
Angkatan Laut AS secara teratur melakukan operasi 'kebebasan navigasi' dengan kapal-kapal yang dekat dengan beberapa pulau yang diduduki China, menegaskan kebebasan akses ke perairan internasional. Komando Pasifik AS memperbarui janjinya untuk melanjutkan operasi di wilayah tersebut.
"Amerika Serikat akan terus terbang, berlayar, dan beroperasi di mana pun hukum internasional mengizinkan, menunjukkan tekad melalui kehadiran operasional kami di seluruh kawasan," kata Komando Pasifik.