Bisnis.com, JAKARTA - Raja Kraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, memastikan pelengseran dua adik tirinya tidak ada sangkut pautnya dengan ontran-ontran sabda raja pada 2015 silam.
Ngarsa Dalem, begitu orang Yogya memanggil Sultan HB X, mengatakan bahwa tindakan tersebut memang harus dilakukan karena keduanya memakan gaji buta dan tidak menunaikan tugasnya sebagai pegawai di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
"Ndak ada masalah, nek gelem aktif yo rapopo (kalau mau aktif tidak apa-apa), masak ming (hanya) gaji buta, 5 tahun ora (tidak) bertanggung jawab," kata Sultan dikutip dari Solopos, Kamis, (21/1/2021).
Sultan menambahkan gaji yang diberikan kepada kedua adiknya tersebut dari dana keistimewaan yang sumbernya berasal dari APBN.
"Lho iya toh [keduanya digaji], kan pembina budaya kan dari APBN [Danais]," ucapnya.
Pernyataan HBX itu sekaligus menampik kabar bahwa pencopotan keduanya merupakan imbas dari perselisihan pendapat tentang sabda raja yang muncul pada tahun 2015. Apalagi, menurut Ngarsa Dalem, beberapa kerabat Kraton yang berselisih paham dengan Sultan tidak semuanya dicopot dari jabatannya.
"Tidak ada hubungannya [dengan sabda raja] wong nyatanya yang tidak setuju sama saya kalau tetap dia melaksanakan tugas sebagai Penghageng juga tidak saya berhentikan. Mas Jatiningrat, Mas Hadiwinoto kan juga tetap kerja karena tetap melaksanakan tugas," katanya.
Sebelumnya, Sri Sultan Hamengku Buwono X memecat 2 adik tirinya yakni Gusti Bendara Pangeran Hario (GBPH) Yudaningrat dan GBPH Prabukusumo dari posisi strategis di lingkungan Kraton Yogyakarta.
Pemecatan itu tersirat dalam sebuah surat berbahasa Jawa yang diteken pada 2 Desember 2020. Sultan, melalui surat itu, menetapkan dua putrinya masing-masing sebagai kepala departemen inti Kraton Yogya.
Pada Bab I surat itu, Sultan menetapkan putri sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi sebagai Penggedhe (kepala) Kawedanan Hageng Punakawan Parwa Budaya Kraton Yogyakarta.
Penetapan Mangkubumi ini sekaligus melengserkan posisi yang diduduki adik tiri Sultan, Gusti Bendara Pangeran Hario (GBPH) Yudaningrat.
Sebelum diangkat, GKR Mangkubumi berkedudukan sebagai wakil dari lembaga yang keraton yang memiliki tugas mengatur segala pelaksanaan kebijakan di bidang agama, adat, dan kebudayaan itu.
Selanjutnya, pada Bab II surat itu, Sultan menetapkan putri bungsunya, GKR Bendara sebagai penggedhe Kawedanan Hageng Punakawan Nitya Budaya Kraton Yogyakarta.
Pengangkatan GKR Bendara yang sebelumnya duduk sebagai wakil lembaga yang kewenangannya mengatur kebijakan di bidang kebudayaan itu, otomatis melengserkan posisi adik tiri Sultan lainnya, GBPH Prabukusumo.
"Kraton Yogyakarta tidak mengenal nama Bawono, artinya surat itu batal demi hukum," kata salah satu adik tiri Sultan HB X yang posisinya dilengserkan, Gusti Bendara Pangeran Hario Prabukusumo, Selasa, 19 Januari 2021.
Prabukusumo menilai dalam surat itu tersirat amarah Sultan. Kemarahan itu menurut Prabu tampak dari penulisan namanya yang salah karena Sultan terlalu tergesa ingin surat itu keluar dan tak memeriksanya lagi. Nama Prabukusumo dalam surat itu memang salah ditulis menjadi Prabukumo.
Namun, secara materi surat itu menurut Prabu memang cacat hukum. Sebab menurutnya jabatannya sebagai kepala (penggedhe) Nitya Budaya Keraton adalah pemberian ayahandanya yang juga ayahanda Sultan HB X, yakni Sultan HB IX.
"Yang mengangkat saya dulu almarhum Bapak Dalem HB IX lalu diteruskan HB X," ujarnya.