Bisnis.com, JAKARTA - Sri Sultan Hamengku Buwono X melengserkan 2 adik tirinya yakni Gusti Bendara Pangeran Hario (GBPH) Yudaningrat dan GBPH Prabukusumo dari posisi strategis di lingkungan Kraton Yogyakarta.
Pelengseran dua adik Sultan itu tertuang dalam sebuah surat berbahasa Jawa. Sultan, melalui surat itu, telah menetapkan dua putrinya masing-masing sebagai kepala departemen inti Kraton Yogya. Surat ini diteken pada 2 Desember 2020.
Pada Bab I surat itu, Sultan menetapkan putri sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi sebagai Penggedhe (kepala) Kawedanan Hageng Punakawan Parwa Budaya Kraton Yogyakarta.
Penetapan Mangkubumi ini sekaligus melengserkan posisi yang diduduki adik tiri Sultan, Gusti Bendara Pangeran Hario (GBPH) Yudaningrat.
Sebelum diangkat, GKR Mangkubumi berkedudukan sebagai wakil dari lembaga yang keraton yang memiliki tugas mengatur segala pelaksanaan kebijakan di bidang agama, adat, dan kebudayaan itu.
Selanjutnya, pada Bab II surat itu, Sultan menetapkan putri bungsunya, GKR Bendara sebagai penggedhe Kawedanan Hageng Punakawan Nitya Budaya Kraton Yogyakarta.
Pengangkatan GKR Bendara yang sebelumnya duduk sebagai wakil lembaga yang kewenangannya mengatur kebijakan di bidang kebudayaan itu, otomatis melengserkan posisi adik tiri Sultan lainnya, GBPH Prabukusumo.
"Kraton Yogyakarta tidak mengenal nama Bawono, artinya surat itu batal demi hukum," kata salah satu adik tiri Sultan HB X yang posisinya dilengserkan, Gusti Bendara Pangeran Hario Prabukusumo, Selasa, 19 Januari 2021.
Prabukusumo menilai dalam surat itu tersirat amarah Sultan. Kemarahan itu menurut Prabu tampak dari penulisan namanya yang salah karena Sultan terlalu tergesa ingin surat itu keluar dan tak memeriksanya lagi. Nama Prabukusumo dalam surat itu memang salah ditulis menjadi Prabukumo.
Namun, secara materi surat itu menurut Prabu memang cacat hukum. Sebab menurutnya jabatannya sebagai kepala (penggedhe) Nitya Budaya Keraton adalah pemberian ayahandanya yang juga ayahanda Sultan HB X, yakni Sultan HB IX.
"Yang mengangkat saya dulu almarhum Bapak Dalem HB IX lalu diteruskan HB X," ujarnya.
Prabu menuturkan, ia sendiri tak ambil pusing dengan pemecatan kakak tirinya itu. Sebab ia dan adiknya, GBPH Yudaningrat juga sudah enam tahun ini tidak aktif dalam kegiatan Keraton.
"Sehingga semua putra putri HB IX saat ini mundur (dari kegiatan Keraton), tidak mau lagi meladeni HB X," kata Prabu.
Pelengseran dua adik tiri Sultan itu mengungkap bahwa konflik antar pewaris trah Mataram di internal Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat belum sepenuhnya padam. Konflik itu dipicu adanya Sabda Raja dan Dawuh Raja yang dibuat oleh Sri Sultan pada tahun 2015 lalu.
Salah satu substansi dalam Sabda Raja tersebut adalah mengubah nama penguasa Kraton Yogyakarta dari Sri Sultan Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono. Sementara dalam Dawuh Raja, mengubah nama GKR Pembanyun menjadi GKR Mangkubumi.
Perubahan istilah itu kemudian ditentang oleh adik-adik tiri Sri Sultan. Mereka melihat bahwa keberadaan Sabda Raja dan Dawuh Raja hanya alat untuk melegitimasi pengangkatan GKR Mangkubumi sebagai penguasa Kraton Yogyakarta.
Itu artinya, Yogyakarta nanti akan dipimpin oleh seorang Sultanah bulan lagi Sultan, dan itu memutus tradisi lama trah penguasa Mataram, baik Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran, atau Pakualaman, yang sepanjang sejarah selalu dipimpin oleh penguasa laki-laki.